Indonesia saat ini merupakan ekonomi terbesar ke-16 di dunia | PT Rifan Financindo Berjangka
Di samping itu, ada juga kendala struktur geografis dan populasi yang tidaktersebar, ketiadaan agunan dan literasi keuangan yang rendah. Selain itu, sebagian besar mereka adalah masyarakat berpenghasilan rendah.
"Terbatasnya akses keuangan formal bagi masyarakat telah banyak dimanfaatkan oleh para rentenir dengan menyediakan dana yang memiliki tingkat bunga sangat tinggi," ungkap Wimboh.
Belum lagi ada pula tawaran-tawaran investasi ilegal yang menjerumuskan masyarakat. Kondisi ini menjerat mereka makin dalam ke jurang kemiskinan.
"Oleh karena itu, upaya peningkatan inklusi keuangan masyarakat tidak dapat dipandang sebelah mata, tetapi harus menjadi perhatian kita semua," jelas Wimboh.
Ia pun menyoroti adanya kebutuhan akan program inklusi keuangan yang lebih efektif dan efisien. Ini berdasarkan fakta bahwa ada puluhan juta masyarakat Indonesia tak bisa mengakses layanan keuangan, baik karena faktor penyebaran jaringan lembaga jasa keuangan formal yang tidak merata.
Selain itu, keputusan penggunaan produk dan layanan keuangan juga tepat. Pada akhirnya, ini akan menopang perkembangan sektor keuangan dan mendorong pertumbuhan ekonomi secara lebih luas.
Studi yang dilakukan Bank Dunia juga menegaskan, peningkatan inklusi keuangan sebesar 1 persen dapat mendorong pertumbuhan PDB per kapita sebesar sekitar 0,03 persen.
Dengan peningkatan 20 persen dalam tingkat inklusi keuangan suatu negara, maka akan ada penciptaan tambahan 1,7 juta pekerjaan baru. Wimboh mengungkapkan, ini menegaskan bagaimana peningkatan inklusi keuangan terbukti akan dapat mendorong upaya penurunan tingkat kemiskinan dan mempersempit ketimpangan.
Indonesia saat ini merupakan ekonomi terbesar ke-16 di dunia. Diperkirakan pada tahun 2030, ekonomi Indonesia akan menduduki peringkat terbesar ke-8 dunia.
Akan tetapi, apabila dilihat dari produk domestik bruto (PDB) per kapita, Indonesia masih berada pada peringkat 112 dunia. Posisi Indonesia tersebut masih jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga, seperti Malaysia yang ada peringkat 68 dan Thailand pada peringkat 84.
"Belum lagi apabila kita melihat tren tingkat pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan yang masih menjadi pekerjaan rumah," kata Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan ( OJK) Wimboh Santoso di Jakarta, Rabu (14/2/2018).
Untuk menangani semua masalah tersebut sebut Wimboh, solusinya adalah dengan inklusi keuangan. Bank Dunia menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat inklusi keuangan masyarakat, maka mereka akan membuat keputusan pengelolaan keuangan yang tepat.
Pinjaman Fintech Perlu Dijamin Asuransi | PT Rifan Financindo Berjangka
Dari 32 fintech tersebut, jumlah pemberi pinjaman (lender) mencapai 100.940 orang, dengan jumlah pinjaman mencapai Rp2,56 triliun hingga Desember 2017. Lalu, jumlah penerima pinjaman mencapai 259.635 orang. Untuk rasio pinjaman bermasalah untuk kurun waktu kurang dari 90 hari sebesar 0,9 persen pada akhir 2017 atau meningkat dari akhir 2016 sebesar 0,6 persen.
Menurutnya, saat ini sudah ada 3-4 perusahaan yang bekerja sama dengan perusahaan asuransi untuk memberikan jaminan kepada pinjaman fintech ke nasabah.
"Sudah ada 3-4 perusahaan fintech yang berkolaborasi dengan asuransi. Tapi produknya masih sama dengan produk yang sudah ada, misal ketika nasabah meninggal atau merugi," pungkasnya.
Berdasarkan data OJK, saat ini sekitar 32 perusahaan dari 235 perusahaan fintech di Indonesia yang bergerak di bidang P2P Lending. Dari jumlah itu, 30 perusahaan berskema konvensional dan dua sisanya berskema syariah.
Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) menilai asuransi pinjaman fintech bukan hal yang prioritas saat ini. Namun, asosiasi tentu akan mendukung jika OJK ingin menjalankannya.
Pasalnya, Direktur Eksekutif untuk Kebijakan Publik Aftech Ajisatria Suleiman menilai yang sebenarnya harus didorong kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan pinjaman.
"Ini bukan prioritas, karena selama ini marketnya sudah berkembang, tapi bukan hal yang perlu kami gedor," kata Ajisatria kepada CNNIndonesia.com.
Dalam 10 tahun terakhir, mulai banyak asuransi yang main ke produk asuransi ritel. Nah, asuransi ritel ini bisa meningkatkan pertumbuhan premi juga," kata Direktur Eksekutif AAUI Dody Achmad Sudiyar Dalimunthe kepada CNNIndonesia.com.
Menurutnya, pemberian asuransi ke pinjaman nasabah fintech bisa dilakukan seperti halnya asuransi pinjaman kredit bank yang telah berjalan. Hanya saja, memang izin produknya tentu perlu dilaporkan dulu ke OJK.
"Produknya sama, misalnya melalui produk asuransi jiwa dan kerugian. Tapi tetap kalau jadi, ini harus dilaporkan ke OJK, meski produknya sama, tapi platformnya beda," jelasnya.
Kendati begitu, Wimboh enggan menjelaskan lebih jauh terkait kajian penerapan aturan ini. Misalnya opsi penerapan produk asuransi itu mengikuti mekanisme pemberian kredit oleh bank atau bisa juga produk baru.
Menurut dia, industri asuransi cukup antusias untuk memberikan jaminan kepada nasabah pinjaman fintech. "Beberapa asuransi sudah ada yang bersedia dan mau mencoba untuk masuk," katanya.
Sementara itu, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mengaku menyambut baik jaminan ke pinjaman fintech ini, karena dianggap dapat memberikan manfaat bagi industri untuk meningkatkan pertumbuhan premi para pelaku.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana menyusun aturan terkait penjaminan asuransi bagi pinjaman dana dari lembaga penyedia jasa keuangan berbasis teknologi (financial technology/fintech) berskema pinjam-meminjam (Peer to Peer Lending).
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan hal ini sebagai bentuk jaminan dan perlindungan bagi nasabah. Sebab, sebagai wasit industri jasa keuangan, OJK sangat berfokus memperhatikan perlindungan nasabah.
"Misalnya, apakah nanti harus ada asuransi atau tidak, itu nanti bisa dilihat lagi," ujar Wimboh di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Rabu (14/2).
Tantangan Utama Akses Keuangan melalui Teknologi Digital | PT Rifan Financindo Berjangka
Menurut Wimboh, perkembangan fintech ini membuka askes keuangan bagi masyarakat. Tercatat, sampai dengan akhir tahun 2017 lalu, jumlah pemberi pinjaman melalui skema peer-to-peer lending ini telah meningkat 602,7% dibandingkan akhir tahun 2016 menjadi 100.940 orang.
Sementara pembiayaan yang disalurkan juga telah mencapai Rp2,56 triliun atau naik 8 kali lipat, dengan tingkat kredit bermasalah (NPL) yang cukup kecil, tidak sampai 1%. Adapun di sektor pasar modal, banyak perusahaan efek telah melakukan investasi di bidang teknologi informasi yang memudahkan nasabahnya untuk berinvestasi dan bertransaksi di pasar modal.
Wimboh menuturkan, pesatnya perkembangan digitalisasi keuangan adalah suatu keyakinan. "Namun, pertanyaannya adalah bukan bagaimana kita menghentikannya, tetapi bagaimana kita memanfaatkannya untuk kepentingan masyarakat luas terutama dalam pemerataan ekonomi masyarakat melalui perluasan inklusi keuangan," urai dia.
Di sektor perbankan, dirinya melihat banyak bank yang terus mengintensifkan pemanfaatan teknologi informasinya seperti digital banking dan branchless banking. "Branchless banking Lakupandai telah berkembang begitu cepat," kata dia.
Akhir tahun 2017 lalu tercatat sudah hampir 741 ribu agen, tumbuh 168% dibandingkan tahun 2016, dengan nasabah mencapai hamper 13,7 juta nasabah atau naik 269%. Selain itu, layanan perbankan digital seperti mobile banking dan internet banking juga terus berkembang pesat. Di sisi lain, perkembangan fintech seperti peer to peer lending saat ini semakin marak.
Menurut dia, meningkatkan inklusi Keuangan dengan menghadirkan jaringan fisik lembaga keuangan formal di daerah terpincil dan atau memiliki kepadatan penduduk yang rendah akan sulit untuk dipenuhi, karena menjadi terlalu mahal biaya transaksinya. Oleh karena itu, salah satu terobosan dalam upaya memperluas inklusi keuangan adalah dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.
Dengan bantuan teknologi akan memungkinkan lembaga jasa keuangan untuk dapat memberikan layanan keuangan kepada masyarakat yang lebih luas, menjangkau masyarakat kurang mampu di daerah terpencil dengan biaya yang jauh lebih rendah.
Lebih lanjut Ia menerangkan tantangan keenam yakni Indonesia harus memiliki mekanisme dan infrastruktur untuk pengumpulan data pada tingkat nasional dan daerah untuk dapat melakuan tracking apakah hasil akhir dari strategi inklusi keuangan ini sesuai dengan yang diharapkan.
Sambung Wimboh menuturkan, inklusi keuangan ini bukan hanya merupakan agenda nasional tetapi juga internasional. "Kita melihat bagaimana Queen Maxima Utusan Khusus PBB untuk Inklusi Keuangan memberikan perhatiannya besar pada upaya peningkatan inklusi Keuangan di banyak negara termasuk Indonesia," jelasnya saat sambutan Seminar Kebijakan Pemerataan Ekonomi dengan tema 'Mendorong Terciptanya Inklusi Keuangan melalui Pemanfaatan Sistem Digital'.
Kedua, pemahaman masyarakat terhadap produk layanan jasa keuangan harus ditingkatkan. Ketiga, infrastruktur pendukung seperti jaringan telekomunikasi dan telepon seluler tersedia dengan harga yang terjangkau.
"Keempat, cyberSecurity yang memadai untuk melindungi data nasabah dan simpanan/investasinya. Lalu kelima, aspek perlindungan konsumen harus diperhatikan untuk menjaga Trust, melalui penerapan tata kelola yang baik," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso di Jakarta, Rabu (14/2/2018).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan terdapat enam tantangan utama yang harus diperhatikan dalam upaya meningkatkan akses keuangan melalui pemanfaatan teknologi digital. Pertama, inkluasi keuangan melibatkan dua sisi yakni sisi komersial dan sisi sosial, sehingga harus ditempatkan di posisi yang seimbang agar sustainable.