Harga batu bara yang terus naik membuat PT Perusahaan Listrik Negara harus menanggung beban keuangan lebih besar | PT Rifan Financindo Berjangka
"Oleh sebab itu kami minta bahwa batu bara itu harusnya dikuasai oleh negara dan BUMN. Kalau di migas, dalam penguasaan Mahakam oleh negara itu sudah terbesar, tapi batu bara itu, PT Bukit Asam hanya enam persen, sedangkan sisanya adalah asing dan swasta," kata dia.
Menurut dia, harga batu bara yang diusulkan oleh Asosiasi Pengusaha Batu bara sebesar US$85 per ton untuk pasar dalam negeri masih terlalu mahal.
"Intinya adalah harga ini perlu diatur. Negara harus hadir. Saya usulkan bukan cuma batu bara yang diatur, tapi untuk keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Makanya pemerintah itu sudah takluk kepada pengusaha. Bahkan asosiasi itu sudah mengajukan harga DMO US$85," tuturnya.
Saat ini, dia melanjutkan, harga batu bara sudah menembus angka US$100 per ton. "Jalan tengah yang harus ditempuh, harga DMO batu bara itu harusnya antara US$60 dan US$70, jadi batu bara itu untuk siapa? Harusnya untuk rakyat," ujarnya.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara mengatakan hal yang senada. Ia menilai Presiden harus didesak untuk mengatur harga batu bara. Penguasaan komoditas batu bara di Tanah Air saat ini masih didominasi oleh perusahaan swasta.
"Kenaikan harga batu bara pasti menyebabkan kenaikan harga pokok penyediaan listrik naik. Dalam kondisi semacam ini PLN terjepit, karena tidak punya kewenangan menetapkan itu (tarif listrik)," kata Fahmi dalam diskusi bertema 'Batu bara batu bara untuk siapa?', di kawasan Menteng, Jakarta, Rabu 21 Februari 2018.
Menurut dia, sesuai dengan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 bahwa seluruh sumber daya alam harus dikuasai oleh negara belum terealisasi. Ia pun meminta pemerintah untuk memberikan harga batu bara yang berkeadilan untuk PLN maupun pengusaha batu bara.
Harga batu bara yang terus naik membuat PT Perusahaan Listrik Negara harus menanggung beban keuangan lebih besar. Pemerintah pun kini tengah menyusun aturan penetapan harga batu bara di pasar domestik atau domestic market obligation.
Menurut pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmi Radhi, penetapan harga batu bara yang menentukan batas atas dan batas bawah untuk pasar dalam negeri itu harus dilakukan secara berkeadilan. Upaya itu agar PLN tidak semakin terjepit lantaran tarif listrik tidak dinaikkan pemerintah.
PLN Terperangkap Sumber Energi Kotor dan Mahal | PT Rifan Financindo Berjangka
Mamit juga mengatakan PLN dan pemerintah saat ini mencoba melakukan negosiasi dengan pengusaha batu bara agar harga domestic market obligation (DMO) untuk PLN dibedakan atau tidak mengacu kepada harga batu bara acuan (HBA). Seperti dikabarkan, PLN kembali meminta pemerintah mengintervensi harga batu bara untuk pasar dalam negeri.
Sebab, harga komoditas tambang itu terus melejit hingga mencapai rekor 100 dollar AS per ton. Kenaikan harga itu bakal menyulitkan PLN karena PLTU milik BUMN itu mengonsumsi sekitar 66,9 juta ton batu bara per tahun. Selain itu, target tambahan kapasitas listrik 35 ribu MW pada 2019, sebagian besar merupakan PLTU batu bara.
Menurut Kementerian ESDM, tambahan pembangkit tersebut akan meningkatkan kebutuhan batu bara PLN hingga 90 persen. Pemerintah tengah mengkaji ulang target pengoperasian sejumlah pembangkit baru itu. Potensi gagal bayar PLN akibat proyek tersebut, seperti yang diungkapkan Menteri Keuangan tahun lalu, mengindikasikan lemahnya perencanaan proyek listrik ambisius tersebut.
Salah satu buktinya, skema tarifnya tidak adil. Tarif untuk energi batu bara diambangkan mengikuti harga pasar, sedangkan tarif EBT dipatok,” papar dia. Padahal, lanjut Susilo, energi batu bara yang kotor dan polutif itu tidak pernah murah dan tidak bisa bertahan selamanya karena suatu saat akan habis.
Bahkan, energi polutif tersebut kini mulai ditinggalkan oleh sekitar 75 persen konsumen dunia, yakni Uni Eropa, Jepang, Amerika Serikat, Tiongkok, dan India. “Sangat aneh, jika kita malah memulai. Jika pemerintah ngotot menggunakan energi kotor dan mahal itu, patut diduga ada kepentingan-kepentingan pribadi, tapi mengorbankan kepentingan satu negara,” tukas dia.
Menurut Susilo, solusi untuk mengatasi hal ini adalah menghentikan proyek PLTU batu bara yang akan dibangun dalam program 35 ribu MW, maka otomatis harga akan turun. Kemudian, alihkan ke EBT dan gas alam yang tersedia melimpah di Indonesia. “Pemerintah nggak mungkin mengatur harga batu bara yang ditentukan mekanisme pasar. Itu menyalahi hukum perdagangan, demokrasi ekonomi. Yang bener PLTU batu bara harus ditinggalkan, bukan dimulai,” ujar dia.
Direktur Eksekutif Energi Watch, Mamit Setiawan, menyatakan melambungnya harga batu bara belakangan ini semestinya menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah untuk mengurangi beban keuangan PLN. “Kurangi porsi pembangkit berbasis batu bara, revisi RUPTL (rencana usaha penyediaan tenaga listrik) dan perbanyak pembangunan pembangkit listrik dari energi baru dan terbarukan (EBT) serta gas alam,” ujar dia, di Jakarta, Selasa (20/2).
Kebutuhan batu bara PLN terus bertambah karena pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru terus bermunculan. Berdasarkan RUPTL PLN 2017-2026, BUMN itu menargetkan pengadaan PLTU milik swasta mencapai 12.845 MW. Menurut Mamit, untuk membangun pembangkit listrik berbasis EBT pada tahap awal membutuhkan biaya relatif lebih besar, tetapi setelah itu ke depannya makin murah dan efisien, sehingga mengurangi beban PLN.
Ekonom Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Y Sri Susilo, menambahkan, momentum harga batu bara ini semestinya dimanfaatkan pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan listrik yang lebih banyak bergantung pada pemakaian batu bara. “Pemerintah tampaknya lebih condong pada energi kotor ketimbang EBT.
Sejumlah kalangan menilai PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN terperangkap pada pemakaian sumber energi batu bara yang sangat polutif, mahal, dan pasokannya bakal habis. Sebab, saat ini sekitar 60 persen pembangkit listrik milik BUMN itu menggunakan batu bara. Itu belum termasuk proyek 35 ribu megawatt (MW).
Akibatnya, ketika harga batu bara melambung tak terkendali seperti sekarang ini, PLN kelabakan karena biaya produksi listrik tahun ini berpotensi membengkak hingga 15 triliun rupiah, seperti pada 2017. Di sisi lain, kemungkinan kenaikan tarif listrik dalam waktu dekat sudah tertutup.
PLN Usul Harga Batu Bara untuk Kelistrikan Dipatok USD 55-65/Ton | PT Rifan Financindo Berjangka
Di sisi lain, Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) mengusulkan harga batu bara untuk PLN sebesar USD 85 per metrik ton. Sebagai pembanding, Harga Batubara Acuan (HBA) yang ditetapkan Kementerian ESDM pada Februari 2018 mencapai USD 100,69 per metrik ton.
Sejak awal 2017, harga batu bara terus meningkat hingga di atas USD 85 per metrik ton setelah sebelumnya sempat jatuh hingga kisaran USD 50 per metrik ton pada awal 2016.
Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengatakan, pihaknya menawarkan harga USD 85 per metrik ton sebagai bahan diskusi dengan PLN. Tak mudah bagi pengusaha untuk mengajukan patokan harga, angka USD 85 per metrik ton dinilai cukup ideal untuk jangka panjang.
"APBI kemarin sudah menyampaikan masukan. Kita sebenarnya kesulitan mengajukan usulan karena harga pasar sedang tinggi dan sifat harga batu bara yang volatile. Dengan waktu yang singkat, kami (APBI) sepakat di angka USD 85 per metrik ton karena masih ada margin," kata Hendra kepada kumparan.
Menurut kajian, harga pokok batu bara sebesar USD 31 per metrik ton. Jadi tetap ada margin untuk produsen batu bara. Kita tidak hanya melihat dari sudut pandang PLN, tapi juga kesinambungan pasokan," ujarnya.
Ia menambahkan, adanya batas atas dan batas bawah ini tak hanya menguntungkan PLN, tapi juga pengusaha dalam jangka panjang.
"Kalau harga batu bara jatuh misalkan sampai USD 40 per metrik ton, kita tetap beli USD 55 per metrik ton. Jadi ini melindungi pengusaha maupun PLN," paparnya.
PLN ingin patokan harga tersebut berlaku setidaknya hingga 5 tahun ke depan. "Kita juga menganalisa tren harga ke depan," ucap Made.
Batas atas dan batas bawah yang diusulkan PLN itu, kata Made, sudah mempertimbangkan keekonomian untuk pengusaha batu bara.
"Berdasarkan kajian-kajian kita, batas tertinggi sekitar USD 65 per metrik ton dan batas bawahnya USD 55 per metrik ton," kata Made kepada kumparan (kumparan.com), Rabu (21/2).
PLN pun meminta agar pemerintah agar harga batu bara untuk dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) dibanderol dengan harga khusus, bukan harga pasar. Tujuannya untuk menjaga keuangan PLN tetap sehat di tengah kebijakan pemerintah yang melarang kenaikan tarif listrik.
Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN, I Made Suprateka, mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengajukan usulan kepada pemerintah agar harga batu bara DMO dipatok dengan harga batas atas dan batas bawah.
Batas bawah yang diajukan PLN sebesar USD 55 per metrik ton dan batas atas USD 65 per metrik ton.
Harga batu bara terus merangkak naik hingga di atas USD 100 per metrik ton. Hal ini membuat biaya produksi listrik PT PLN (Persero) meningkat.