Aktifitas buruh wanita dapat memikul empat karung beras di gudang Bulog | PT Rifan Financindo Berjangka
"Tidak ada dana APBN itu pasti. PPI itu menjadi pintu sehingga kita bisa mengatur, mereka bisa bermitra dengan pengusaha beras," ujar Enggartiasto.
Mendag menambahkan, impor kali ini juga pertama kali dilakukan oleh importir selain Bulog.
Dipilihnya PPI kerena saat ini Bulog tengah menghadapi sejumlah persoalan pengoplosan beras jenis medium dari Vietnam dengan beras lokal. Seperti yang terjadi di Kalimantan Selatan.
"Kenapa tidak Bulog? Supaya jelas. Nanti timbul lagi persoalan, kalau Bulog dioplos dan sebagainya. Dari situ kita masukin di market langsung," kata dia.
"(Impor) akan memakan waktu hampir dua bulan. Nah, ketika beras ini masuk ke Indonesia dan terdistribusi ke konsumen, sudah panen raya pada Maret. Akan menghancurkan harga gabah ditingkat usaha tani," ujar Andreas saat berbincang dengan Kompas.com, Sabtu (13/1/2018).
Namun, menurut Mendag Enggartiasto, stok beras dari impor tersebut akan masuk pada akhir Januari ini. Dan impor beras ini, kata dia, tidak akan memakai uang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Akan tetapi, sepenuhnya menggunakan uang dari importir yakni PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) (PPI).
Keputusan impor tersebut langsung disambut pro kontra dari berbagai pihak. Seperti dilontarkan Guru Besar Instistut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa.
Dia menilai beras yang akan didatangkan dari Vietnam dan Thailand berpotensi membuat harga gabah jatuh karena sudah dekat dengan masa panen raya padi di Indonesia pada Maret 2018.
Bahkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mendukung pernyataan Mendag bahwa Indonesia saat ini kekurangan stok beras.
Jusuf Kalla mengungkapkan, bahwa keputusan pemerintah mengimpor 500.000 ton beras dari Vietnam dan Thailand dilakukan karena kebutuhan.
"Karena stok sekarang kurang, maka impor dulu baru jual. Kalau turun harganya, maka dia ( Bulog) membeli (beras dari petani)," ujarnya di Jakarta, Jumat (12/1/2018).
Hingga pada Jumat (12/1/2018) stok beras mencapai 900.000 ton. Dengan, jumlah stok tersebut Kemendag Klaim tidak mencukupi kebutuhan masyarakat.
"Saya sampaikan tidak mau mengambil risiko kekurangan pasokan, saya mengimpor beras khusus, beras yang tidak ditanam dalam negeri," ujar Mendag saat konferensi pers di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Kamis (11/1/2018).
"Hari ini stok kurang lebih 1 juta. Kalau ada yang mengatakan ini rendah, itu keliru," kata Mentan Amran, Rabu (3/1/2018) lalu.
Namun Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita justru mengatakan bahwa stok beras semakin menurun sehingga menyebabkan harga beras melonjak tinggi. Dengan alasan tersebut, Mendag tidak punya pilihan lain untuk membuka keran impor beras.
Sebenarnya Kementerian Pertanian sendiri menyatakan bahwa stok beras aman hingga masa panen pada Maret 2018. Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menyebut, pihaknya tidak khawatir terkait stok beras, sebab saat ini stok beras nasional mencapai 1 juta ton.
Sebanyak 500.000 ton beras yang akan diimpor pada Januari 2018. Kebijakan ini muncul karena adanya kekurangan beras jenis medium sejak akhir tahun 2017. Akibatnya harga beras di pasaran pun melambung tinggi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, harga beras jenis medium yang banyak dikonsumsi masyarakat selama Desember 2017 naik 2,66 persen dari Rp 9.280 per kilogram menjadi Rp 9.526 per kilogram.
Bahkan, pada Januari data harga beras dari Pasar Induk Beras Cipinang, pada 11 Januari 2018 harga beras medium mencapai Rp 11.275 per kilogram.
Pemerintah akhir membuka keran impor beras pada awal tahun ini. Keputusan ini tertuang dalanm Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 Tahun 2018.
Kebijakan impor beras tersebut merupakan yang pertama kalinya dalam dua tahun terakhir saat pemerintah terakhir membuka keran impor beras pada 2015.
Kementerian Pertanian Tegaskan Beras Impor Tidak Dijual untuk Umum | PT Rifan Financindo Berjangka
Ketua Umum DPN Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Fadli Zon mengkritik rencana pemerintah untuk mengimpor beras sebesar 500 ribu ton pada akhir Januari 2018.
Menurutnya, rencana tersebut hanya membuktikan kacaunya tata kelola pangan pemerintah, sekaligus menunjukkan rendahnya mutu data pangan yang selama ini mereka miliki.
Sehingga harga beras cenderung naik dan keputusan pemerintah untuk menekan harga tersebut melalui impor beras dengan jumlah terbatas.
Kementerian Perdagangan sendiri merencanakan akan melakukan impor sebanyak 500.000 ton, sedangkan kebutuhan beras setiap bulannya mencapai 2,6 juta ton.
"Sehingga beras impor itu hanya untuk mencukupi kebutuhan sebanyak lima hari," ujarnya.
"Sehingga dalam penjualannya pun akan bekerja sama dengan ritel, tidak dijual secara umum," kata dia.
Impor beras tersebut, menurut Momon karena pasokan beras khususnya di ibu kota negara belum optimal.
Impor beras sebanyak 500.000 ton yang dilakukan Kementerian Perdagangan membuat resah petani karena akan berdampak kepada penurunan harga gabah.
Namun Kementerian Pertanian meminta publik tak perlu khawatir, sebab beras impor tersebut tidak dijual untuk umum.
Menurut Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian, Kementerian Pertanian, Momon Rusmono, beras yang diimpor oleh Kementerian Perdagangan tersebut dikategorikan ke dalam beras khusus, yang ditujukan terutama untuk kebutuhan kesehatan, hotel, rumah makan, dan katering.
Fadli pun meminta agar masyarakat melihat Pasal 16 Permendag Nomor 1/2018.
Dalam kasus ini, kata Fadli, Menteri Perdagangan justru memberikan izinnya ke perusahaan lain.
"Ini kan tidak nyambung. Yang dianggap masalah adanya di mana, tapi penyelesaiannya entah ke mana," ujar Fadli.
Keanehan ketiga, pemerintah berdalih impor beras bulan ini untuk menstabilkan harga beras, artinya untuk keperluan umum.
Sesuai ketentuan yang berlaku, termasuk Permendag No. 1/2018, yang disusun untuk melegitimasi impor beras ini, izin impor untuk keperluan umum hanya dapat dilakukan oleh Bulog.
Kedua, Fadli mengatakan pemerintah menyebut bahwa kelangkaan beras terjadi pada golongan beras medium, yang selama ini dikonsumsi oleh kalangan menengah, namun izin impor yang diterbitkan Kementerian Perdagangan malah untuk beras premium.
"Saya melihat kebijakan impor beras ini sangat aneh. Pernyataan pemerintah tidak ada yang sinkron satu sama lain. Paling tidak ada empat keanehan yang saya catat, misalnya. Pertama, Kementerian Pertanian hingga saat ini masih klaim Januari 2018 ini kita mengalami surplus beras sebesar 329 ribu ton," kata Fadli Zon.
"Dengan mengacu data BPS, Kementan menyatakan bahwa sepanjang 2017 produksi beras mencapai 2,8 juta ton, sementara tingkat konsumsi kita sekitar 2,5 juta ton. Jika angka-angka ini benar, kita seharusnya memang surplus beras. Namun anehnya harga beras di pasar justru terus naik," ujar Fadli.
"Saya melihat kebijakan impor beras ini sangat aneh. Pernyataan pemerintah tidak ada yang sinkron satu sama lain. Paling tidak ada empat keanehan yang saya catat, misalnya. Pertama, Kementerian Pertanian hingga saat ini masih klaim Januari 2018 ini kita mengalami surplus beras sebesar 329 ribu ton," kata Fadli Zon.
"Dengan mengacu data BPS, Kementan menyatakan bahwa sepanjang 2017 produksi beras mencapai 2,8 juta ton, sementara tingkat konsumsi kita sekitar 2,5 juta ton. Jika angka-angka ini benar, kita seharusnya memang surplus beras. Namun anehnya harga beras di pasar justru terus naik," ujar Fadli.
Jika harga beras naik, sementara di sisi lain pemerintah mengklaim produksi beras sebenarnya sedang surplus, maka menurutnya yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah melakukan operasi pasar, dan bukannya impor.
Impor beras di saat menjelang panen hanya akan menekan harga gabah petani, dan menyebabkan harga gabah petani pasti anjlok.
Jadi, kebijakan tersebut sebenarnya hanya menyakiti petani saja.
"Saat keseimbangan harga di pasar beras berada di atas Rp9.000, pemerintah malah menetapkan HET beras medium, misalnya, di angka Rp9.450. kebijakan tersebut benar-benar sulit dinalar. Bahkan muncul kesan kebijakan HET itu seakan-akan merupakan prakondisi untuk melegitimasi impor beras awal tahun ini," tambah Plt Ketua DPR RI itu.
Keempat, izin impor ini dikeluarkan pemerintah persis pada saat petani kita sedang menghadapi musim panen.
Baginya, empat keanehan itu sudah lebih dari cukup membuktikan pemerintah selama ini memang tidak transparan dalam mengelola kebijakan pangan.
"Saya juga menilai bahwa yang membesar-besarkan kenaikan harga beras belakangan ini sebenarnya adalah pemerintah sendiri. Dan itu dipicu oleh aturan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang tak masuk akal," ujar Fadli.
Bola Panas Impor Beras | PT Rifan Financindo Berjangka
juga mempertanyakan laporan Mentan yang menyebut surplus 17,4 juta ton. Sebab, gudang milik Badan Urusan Logistik (Bulog) hanya mampu menampung maksimal tiga juta ton.
"Gudang Bulog malah banyak yang kosong. Kan, kacau jadinya. Kalau harga sudah meledak baru diputuskan impor," jelas Dwi. Ia juga menegaskan bahwa jangan menempatkan petani sebagai objek karena posisinya sebagai produsen beras.
"Itu yang terpenting. Gagal paham arti kedaulatan pangan itu sendiri," tegas Dwi. Selama ini pemerintah memandang kedaulatan pangan sama dengan swasembada. Padahal tidak.
Selain itu, kunci penting lainnya yang mendorong kesuksesan dari kedaulatan pangan adalah petani. "Petani harus sejahtera dan lebih berdaulat dalam menentukan usaha mereka. Pemerintah harus subsidi kebutuhan petani seperti benih pupuk," kata Dwi.
"Kita tidak hanya bicara beras masuk ke pelabuhan, tetapi sudah didistribusikan ke masyarakat. Barangnya masuk akhir bulan Februari. Ini mendekati panen raya," papar dia.
Kendati impor lagi, Dwi mengingatkan kalau pemerintah harus menata kelola pangan lebih benar, bukan berdasarkan klaim.
Alasannya karena jika kebijakan hanya berdasarkan pada klaim, maka dipastikan bisa kacau. Dwi pun menyoroti kinerja Menteri Pertanian Amran Sulaiman yang mengklaim kalau Indonesia surplus 17,4 juta ton beras.
"Saya sudah mengamati lama. Sejak bulan Juli tahun lalu. Ada masalah produksi. Pemerintah terpesona dengan laporan Pak Amran. Kalau saja pemerintah mudeng seharusnya masuk semester kedua (Juli-Agustus) sudah ancang-ancang," terangnya.
Dwi menuturkan apabila pemerintah memutuskan saat ini mengimpor beras, maka paling cepat datang pada akhir Februari 2018. Ia menjelaskan tidak mungkin beras akan masuk dan beredar di pasar-pasar dua minggu setelah keran impor dibuka.
Ia melanjutkan, pada saat yang bersamaan, Dwi yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), melakukan kajian dengan berkeliling dari Jawa Barat hingga Tabanan, Bali, untuk memantau situasi.
"Memang ada serangan hama wereng coklat ke 400 ribu hektare lahan sawah. Memang sangat besar. AB2TI berkesimpulan bahwa produksi padi tahun 2017 lebih rendah dari tahun 2016. Saya melihat keputusan (impor) murni karena masalah supply and demand," ungkapnya.
Meski pada Juli sempat turun, namun itu disebabkan ada kasus PT Indo Beras Unggul (IBU) akibat dugaan kecurangan dalam memproduksi beras.
"Gara-gara kasus inilah, Satgas Pangan mendatangi semua pedagang beras untuk mengecek apakah mereka menimbun atau tidak. Pedagang jadi ketakutan sehingga (harga) beras dilepas, sehingga harganya relatif turun," ungkap Dwi kepada VIVA, Minggu, 14 Januari 2018.
Kemudian, harga beras pada Agustus kembali meningkat hingga melonjak pada akhir Desember 2017.
Pada 2015, pemerintah mengimpor 861.601 ton beras. Lalu, 2016 meningkat menjadi 1,28 juta ton, serta 2017, turun menjadi 256.559 ton.
Ironis, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman pernah sesumbar kalau Indonesia tidak akan impor beras pada 2018, karena capaian produksi cukup menggembirakan. Hal ini diungkapkannya saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Pertanian Nasional 2017 di Gedung Kementerian Pertanian, Jakarta, awal Juni 2017.
Namun fakta berkata lain. Di mata Guru Besar Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa, kenaikan harga beras sebenarnya sudah terjadi sejak Mei 2017.
Bicara impor beras, sebenarnya bukan barang baru, khususnya di era pemerintahan Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla. Menurut data Badan Pusat Statistik, sejak 2015 hingga 2017, keran impor salah satu bahan pokok masyarakat Indonesia ini tetap terbuka.
Indonesia kembali mengimpor beras. Awal 2018, pemerintah membuka keran impor beras khusus sebanyak 500 ribu ton dari Vietnam dan Thailand.
Langkah yang dinilai tidak populis lantaran terjadi di tahun politik ini diharapkan bisa menekan harga beras yang saat ini sedang melonjak tinggi. Menurut Kementerian Perdagangan, keputusan impor setelah melewati rangkaian operasi pasar hingga pembahasan dengan berbagai pihak.