PLN Berharap ICP Bisa Diganti Dalam Formulasi Tarif Listrik | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Palembang
Pasal 5 Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 31 Tahun 2014 tentang Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan oleh PLN menyebut, ada tiga hal yang memengaruhi penyesuaian tarif listrik. Yakni, inflasi, harga minyak mentah (Indonesian Crude Price/ICP), dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
PT PLN (Persero) mengusulkan perubahan perhitungan tarif dasar listrik dalam proses penyesuaian tarif (tariff adjustment) setiap bulannya. PLN menilai, formulasi tarif yang berlaku saat ini kurang relevan dengan kondisi sesungguhnya.
Pelaksana Tugas (Plt) Menteri ESDM Luhut Pandjaitan menuturkan, telah menerima usulan tersebut. Namun, ia mengaku, masih mengkaji keinginan perusahaan setrum pelat merah itu. "Masih kami pelajari lagi usulan tersebut," pungkasnya ditemui di lokasi yang sama.
Namun, Direktur Perencanaan Korporat PLN Nike Widyawati mengatakan, saat ini, hanya 6,7 persen dari total pembangkit listrik yang digerakkan menggunakan bahan bakar fosil. Rencananya, porsi pembangkit listrik tenaga Bahan Bakar Minyak (BBM) ini akan semakin dikurangi ke depannya.
Adapun, proporsi masing-masing tenaga di dalam variabel fuel mix akan mengikuti proporsi bauran energi di dalam RUPTL. Sesuai dengan RUPTL, bauran energi pada tahun 2025 nanti terdiri dari batubara sebesar 50 persen, gas sebesar 29,4 persen, EBT sebesar 19,6 persen, dan BBM sebesar 1 persen.
"Itu yang kami usulkan. Karena, kalau hanya ICP saja, tidak mewakili seluruh tenaga pembangkit. Saat ini, tenaga yang terbesar masih berasal dari batu bara. Jadi, kalau komponen itu diganti, kan kami menimbang energi primer lain," imbuh dia.
"Kami hanya kasih masukan saja. Karena, di dalam formulasi itu yang dihitung hanya BBM saja. Kan sekarang penggunaan (pembangkit BBM) semakin sedikit, Jadi, tidak mencerminkan kondisi yang sebetulnya," ujarnya, ditemui di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rabu (24/8).
PLN, lanjut Nike, berharap bisa mengganti komponen ICP di dalam formulasi tarif listrik menjadi satu variabel yang merupakan agregasi harga dari beberapa tenaga pembangkit listrik (fuel mix), yang terdiri dari batubara, ICP, hingga Energi Baru Terbarukan (EBT).
Nike berharap, usulan perseroan diamini oleh pemerintah. Sehingga, tercipta harga listrik yang mencerminkan sisi biayanya. Pun demikian, ia mengaku, menyerahkan segala keputusannya kepada pemerintah. "Ini menjadi kewenangan Kementerian ESDM kan, kami hanya mengusulkan saja," terang dia.
Penyediaan Listrik Malaysia 4 Kali Lebih Besar dari Indonesia | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Palembang
Meskipun biaya untuk membangun EBT saat ini masih jauh lebih mahal ketimbang energi fosil, namun EBT sangat dibutuhkan untuk masa depan. Sehingga bauran energi menjadi suatu keharusan yang harus dipersiapkan mulai saat ini.
"Apapun skenarionya, yang namanya energi kebutuhannya terus meningkat," imbuhnya.
Menurut Anggota Komisi VII DPR Kurtubi, Indonesia pada dasarnya sangat kaya terhadap sumber EBT. Dengan kondisi geografis Indonesia, negara ini sangat kaya akan energi panas bumi. Sayangnya Indonesia belum maksimal memanfaatkannya.
"Panas bumi itu karunia Tuhan yang bisa dimanfaatkan dan ini tidak bisa diekspor. Masa karunia Tuhan tidak dimanfaatkan. Kalau didiamkan saja tidak ada manfaatnya untuk manusia, jadi harus didorong, all out," tuturnya dalam diskusi Energi Kita di Dewan Pers, Jakarta, Minggu (21/8/2016).
Apalagi, tukas Kurtubi, penyediaan listrik di Indonesia saat ini masih sangat minim. Bahkan masih banyak daerah terpencil yang belum teraliri listrik.
"Kita sudah dorong gas habis-habisan, batu bara juga, PLTA juga, tapi faktanya total kapasitas kita masih relatif lebih kecil. Kita dibandingkan Malaysia pendapatan per kapita mereka USD8 ribu per kapita per tahun, kita USD4 ribu. Tapi kalau penyediaan listriknya Malaysia empat kali lipat dari kita," pungkasnya.
Pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT) semakin hari menjadi suatu keharusan. Sebab energi fosil merupakan sumber energi yang terbatas dan semakin berkurang.
PLN Usul Cara Menghitung Tarif Dasar Listrik Diubah | PT Rifan Financindo Berjangka Cabang Palembang
Direktur Perencanaan PLN, Nicke Widyawati, menilai bahwa rumusan tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi PLN sekarang. Dalam bauran energi (energy mix) PLN sekarang, peranan bahan bakar minyak (BBM) sudah tidak signifikan, hanya sekitar 7% saja.
PT PLN (Persero) mengusulkan formulasi untuk perhitungan tarif dasar listrik (TDL) diubah. Selama ini, TDL dihitung berdasarkan kurs dolar, Indonesian Crude Price (ICP) alias harga minyak Indonesia, dan inflasi.
Dari total kapasitas pembangkit listrik PLN sebesar 54.000 MW, sekarang 54,4% menggunakan batu bara, 25,3% memakai gas bumi, 8,9% bertenaga air, 4,3% dari panas bumi, dan hanya 7,1% saja yang masih pakai BBM.
Lalu dalam program 35.000 MW, sudah tidak ada lagi pembangkit listrik baru yang berbahan bakar minyak, semuanya menggunakan batu bara, gas, dan energi baru terbarukan (EBT).
Maka, menurut Nicke, harusnya formulasi perhitungan TDL memasukkan komponen harga batu bara, gas bumi, dan EBT sebagai variabel. Kementerian ESDM diminta membuat formulasi baru yang relevan dengan energy mix PLN.
"Itu usulan saja, sebetulnya formulasi itu wewenang ESDM, kita hanya beri masukan saja. Karena dalam formulasi itu yang dihitung hanya BBM saja, kan BBM sekarang tinggal 7% dari total (bauran energi) itu. Jadi tidak mencerminkan yang sebetulnya," kata Nicke saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (24/8/2016).
Berhubung sekarang lebih dari separuh pembangkit adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), maka fluktuasi harga batu bara harusnya lebih dipertimbangkan ketimbang harga minyak dalam perhitungan TDL.
"Iya kan batu bara kan banyak. Makanya kalau harganya dari BBM kan jadi kurang pas. Itu saja sih. Lebih relevan saja karena sebagian banyak batu bara, mengikuti harga batu bara," cetus Nicke.
"Realisasinya yang masih terbesar batu bara. Jadi kalau itu (TDL) dipatok BBM tidak mempertimbangkan energi primer lain. Itu usulan kita. Tapi ini wewenang ESDM, masih harus persetujuan DPR, ini masih panjang," tutupnya.
Cara perhitungan TDL yang digunakan sekarang sudah ketinggalan zaman, PLN sudah tidak lagi banyak menggunakan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) seperti di masa lalu.
"Fuel mix-nya sudah sangat berubah. Jadi kita hanya bilang kita usul, kalau formulanya men-consider fuel mix, bukan hanya BBM. Itu saja," ucap Nicke.