Presiden Joko Widodo secara resmi meluncurkan kebijakan (PPh) final Usaha Mikro | PT Rifan Financindo Berjangka
Dengan tarif PPh final, WP sektor UMKM akan sangat mudah dalam menghitung kewajiban perpajakannya yaitu tinggal mengalikan tarif 0,5% dengan omzet perbulannya," jelas Menkeu.
Sri Mulyani pun mengaku antusiasi melakukan sosialisasi tentang kebijakan baru bagi pelaku UMKM tersebut. Sabtu (23/6) lalu, Sri Mulyani mendampingi Presiden melakukan sosialisasi tentang PPh final UMKM 0,5% di Bali. Acara tersebut dihadiri setidaknya sekitar 1.000 pelaku UMKM. WP dalam ketentuan ini adalah para pengusaha kecil dengan peredaran bruto atau omzet sampai dengan Rp4,8 miliar per tahun.
Melalui sosialisasi ini, Menkeu berharap dapat meneruskan penyebaran informasi mengenai penurunan tarif PPh final UMKM dari yang semula 1% menjadi 0,5% sesuai PP No 23/2018.
Di tengah revolusi Industri 4.0 ini, pemerintah harus turut andil dalam mengembangkan dunia usaha, terutama UMKM. Berkaca kepada begitu dinamisnya dunia usaha ini, pemerintah pun memberikan insentif penurunan tarif PPh final UMKM dari 1% menjadi 0,5%," ujar Menkeu seperti dikutip dalam laman akun Instagramnya.
Menurutnya, Kebijakan ini jelas menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada para pengusaha UMKM. Aturan baru ini juga memudahkan pelaku UMKM untuk menghitung dan menunaikan kewajiban pajaknya.
Presiden Joko Widodo secara resmi meluncurkan kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) final Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) 0,5% sebagai bagian dari Peraturan Pemerintah (PP) No 23/2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati berkeyakinan kebijakan ini akan dapat mendorong dan mengembangkan usaha kecil, seiring dengan Industri 4.0 yang telah diimplemetasikan pemerintah.
Tarif PPh Final UMKM Diturunkan, Asosiasi: Bukan Kabar Gembira | PT Rifan Financindo Berjangka
Jokowi berharap penurunan PPh final dapat memberi ruang bagi pelaku UMKM untuk mengembangkan usahanya lebih besar lagi. "Agar usaha mikro ini bisa tumbuh melompat menjadi usaha kecil. Usaha kecil juga bisa tumbuh melompat menjadi usaha menengah. Usaha menengah juga bisa melompat lagi menjadi usaha besar. Pemerintah menginginkan seperti itu," ujar dia.
Meskipun, kalau dilihat dari segi kontribusi terhadap perekonomian, Fithra mencatat UMKM menyumbang lebih dari 60 persen dari GDP (Gross Domestic Product). UMKM juga berperan menyerap 90 persen tenaga kerja Indoesia. "Jadi potensinya besar sekali, tetapi sampai sekarang masih belum teroptimalkan gitu."
Kemarin, Presiden Joko Widodo mensosialisasikan pemangkasan PPh final UMKM menjadi 0,5 persen. Sebelumnya tarif pajak tersebut dipatok sebesar 1 persen. Namun banyak keluhan dari pelaku UMKM terkait besaran pajak yang harus mereka tanggung.
Sehingga, Ikhsan mengatakan pertumbuhan sektor UMKM tidak akan terlalu berbeda, meski dengan adanya kebijakan tersebut. "Jadi kebijakan ini biasa saja," ujar dia. "Di negara lain untuk usaha Mikro dan Kecil harusnya PPh finalnya adalah nol, itulah mengapa Pak Presiden sebenarnya meminta untuk 0,25 persen namun akhirnya menjadi 0,5 persen."
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal mengatakan kebijakan itu adalah angin segar buat UMKM, sebab kebijakan tersebut adalah insentif yang memadai. Namun, bila melihat proporsi UMKM yang ada, kebanyakan dari mereka berada di sektor informal yang tidak dikenai pajak. Sehingga, secara umum kebijakan itu memang tidak berpengaruh bagi sektor UMKM.
"UMKM ini sebagian besar, 2/3 ada di sektor informal," kata Fithra.
Kalau turunin, turunin saja, jangan lagi ada embel-embel biaya tambahan," kata Ikhsan.
Selain itu, Ikhsan mengatakan para pengusaha UMKM juga masih tetap mengeluarkan biaya yang meliputi biaya pembukuan atau paper work, serta biaya birokrasi dari petugas pemeriksa pajak. Biaya tersebut masih belum termasuk biaya konsultan pajak. Adapun besaran kocek yang mesti dirogoh para pengusaha berbeda-beda.
Asosiasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia (Akumindo) menyambut baik pemangkasan Pajak Penghasilan (PPh) final usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menjadi 0,5 persen. Sebelumnya tarif pajak tersebut dipatok sebesar 1 persen.
Hanya saja, Ketua Akumindo Ikhsan Ingatrubun mengatakan kebijakan itu bukanlah kabar yang menggembirakan bagi UMKM. Sebab, mereka masih direpotkan dengan keharusan membuat laporan pembukuan. "Boro-boro Laporan Pembukuan, untuk usaha mikro dan kecil syukur jika punya pencatatan," ujar Ikhsan kepada Tempo, Ahad, 24 Juni 2018.
Pemangkasan PPh Dinilai Belum Bisa Maksimalkan Pertumbuhan UMKM | PT Rifan Financindo Berjangka
"Kalau bicara era fintech, pemerintah bisa berdayakan pembiayaan fintech. Itu juga bisa menstimulasi pembiayaan di luar perbankan," ujar Fithra.
Kemarin, Presiden Joko Widodo mensosialisasikan pemangkasan PPh final UMKM menjadi 0,5 persen. Sebelumnya, tarif pajak tersebut dipatok 1 persen. Namun banyak keluhan dari pelaku UMKM terkait dengan besaran pajak yang harus mereka tanggung.
Jokowi berharap penurunan PPh final dapat memberikan ruang bagi pelaku UMKM untuk mengembangkan usahanya lebih besar lagi. "Agar usaha mikro ini bisa tumbuh melompat menjadi usaha kecil. Usaha kecil juga bisa tumbuh melompat menjadi usaha menengah. Usaha menengah juga bisa melompat lagi menjadi usaha besar. Pemerintah menginginkan seperti itu," ucapnya.
"Yang kecil yang enggak kena pajak. Yang dibutuhkan adalah akses terhadap pembiayaan. Itu kurangnya di situ," katanya. Salah satu hal yang membuat para pengusaha UMKM mendapatkan pembiayaan adalah kekurangtahuan mengenai laporan keuangan yang baik. Karena itu, salah satu hal yang bisa ditempuh pemerintah adalah memberikan pelatihan mengenai laporan keuangan yang baik.
Selain itu, Fithra menyarankan pemerintah memberdayakan sumber-sumber pembiayaan di luar perbankan. Apalagi pada era digital ini mulai bermunculan alternatif pembiayaan lain, seperti teknologi finansial (financial technology/fintech).
Karena itu, Ikhsan mengatakan pertumbuhan sektor UMKM tidak akan terlalu berbeda meski ada kebijakan tersebut. "Jadi kebijakan ini biasa saja," tuturnya. "Di negara lain, untuk usaha mikro dan kecil harusnya PPh finalnya adalah nol. Itulah mengapa Pak Presiden sebenarnya meminta untuk 0,25 persen, namun akhirnya menjadi 0,5 persen."
Ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal, mengatakan kebijakan tersebut hanya berdampak pada sektor usaha kelas menengah. Sebab, kata dia, para pemain usaha mikro dan menengah sejatinya tidak banyak yang termasuk obyek pajak.
Selain itu, Ikhsan mengatakan para pengusaha UMKM masih tetap mengeluarkan biaya yang meliputi biaya pembukuan atau paper work serta biaya birokrasi dari petugas pemeriksa pajak. Biaya tersebut masih belum termasuk biaya konsultan pajak. Adapun besaran kocek yang mesti dirogoh para pengusaha berbeda-beda.
Meski telah ada pemangkasan pajak tersebut, Ikhsan mengatakan para pengusaha UMKM kini masih direpotkan dengan keharusan membuat laporan pembukuan. "Boro-boro laporan pembukuan, untuk usaha mikro dan kecil, syukur jika punya pencatatan," ucapnya.
Asosiasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Akumindo) menilai kebijakan pemerintah memangkas pajak penghasilan (PPh) final usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) menjadi 0,5 persen belum bisa menggenjot pertumbuhan UMKM. "Bukan faktor ini yang mendorong peningkatan UMKM," ujar Ketua Akumindo Ikhsan Ingatrubun kepada Tempo, Ahad, 24 Juni 2018.
Ikhsan mencatat ada tiga hal yang mesti dilakukan pemerintah untuk memacu geliat UMKM, antara lain dengan terus memberikan iklim usaha yang sehat. Selanjutnya, pemerintah mesti terus menjamin banyaknya uang yang beredar di masyarakat. Dengan demikian, masyarakat terdorong untuk berbelanja. Selain itu, Iksan meminta pemerintah memberikan akses permodalan seluas-luasnya.