PT Vale Indonesia Tbk (INCO) mulai menyiapkan sejumlah ekspansi organik | PT Rifan Financindo Berjangka
Bulan ini, INCO bakal melakukan percobaan operasional kiln kedua yang ditargetkan bisa beroperasi penuh sebelum tutup tahun ini. Dengan adanya kiln, INCO bisa terus meningkatkan efisiensi. Perusahaan juga berharap harga komoditas nikel membaik.
Frederick Daniel, analis Indo Premier Sekuritas, memprediksi, harga nikel tahun ini akan naik menjadi US$ 13.000-US$ 14.000 per ton dari sebelumnya US$ 12.000 per ton. "Dengan asumsi tersebut, kami menaikkan estimasi pendapatan INCO. Tahun ini diprediksi tumbuh 19% dan tahun depan tumbuh 47%," tulis Frederick dalam risetnya, 2 Maret 2018 lalu.
Sepanjang tahun 2017, pendapatan INCO tercatat sebesar US$ 629,33 juta. Frederick pun mempertahankan rekomendasi buy saham INCO dengan target harga Rp 4.500 per saham. Kemarin, saham INCO melemah 20 poin ke level Rp 2.980 per saham.
Karena perusahaan tidak bisa mengontrol harga, satu-satunya jalan menekan beban adalah dengan melakukan strategi efisiensi. Secara perlahan, INCO mulai beralih ke komoditas batubara sebagai bahan bakar utama.
Meski harga batubara masih tinggi, namun INCO menyiasatinya dengan menyiapkan beberapa jaringan instalasi pengolahan bijih nikel yang disebut kiln. Dus, penggunaan batubara bisa tetap lebih efisien ketimbang minyak.
INCO berencana memiliki lima kiln. Salah satunya sudah mulai beroperasi tahun lalu. Strategi ini rupanya membuahkan hasil. "Kami bisa menghemat US$ 23 juta setahun," imbuh Febriany.
Sebagai produsen nikel, kinerja INCO memang tak lepas dari harga komoditas ini. Selain itu, pergerakan harga batubara dan minyak juga mempengaruhi kinerja INCO lantaran keduanya merupakan komponen utama dalam operasional produksi INCO. "Biaya energi sekitar 30% dari cash cost kami," ujar Febriany.
Sebagai gambaran, sepanjang 2017, beban pokok INCO tercatat US$ 622,78 juta. Dari jumlah itu, senilai US$ 174,17 juta merupakan pengeluaran untuk bahan bakar minyak dan batubara.
Dibanding capex tahun lalu sebesar US$ 90 juta, nilai capex tahun ini hanya naik 5%. Namun tahun lalu INCO hanya menyerap capex US$ 68 juta.
Sumber pendanaan capex masih berasal dari dana kas internal. "Tidak ada masalah soal pendanaan," ujar Direktur Keuangan INCO Febriany Eddy di Jakarta, Rabu (4/4).
Hingga akhir 2017, total kas setara kas INCO mencapai US$ 221,69 juta. Angka ini naik 19% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, US$ 185,56 juta.
Tahun ini, INCO menargetkan produksi nikel sebesar 77.800 ton, naik sekitar 1% dibanding realisasi tahun lalu, 76.807 ton. Sayangnya, manajemen INCO belum bisa memprediksi perolehan pendapatan dan laba bersih tahun ini.
PT Vale Indonesia Tbk (INCO) mulai menyiapkan sejumlah ekspansi organik pada tahun ini. Perusahaan tambang ini menganggarkan belanja modal alias capital expenditure (capex) US$ 95 juta, setara Rp 1,3 triliun.
Sebagian besar capex tahun ini akan digunakan untuk pengembangan bisnis. Lalu, sekitar US$ 18 juta akan digunakan untuk perbaikan mesin produksi secara berkala.
Vale Ditinggal Presiden Komisarisnya | PT Rifan Financindo Berjangka
Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan mengucapkan terima kasih atas dedikasi dan komitmen Maki kepada Perseroan selama masa baktinya. Kami beritahukan pula bahwa masa jabatan Michael Baril, Ibu Andrea Almeida dan Nobuhiro Matsumoto sebagai Komisaris Perseroan berakhir pada saat penutupan rapat ini," ungkap Nico Kanter dalam keterangan resminya di Jakarta, Rabu (4/4/2018).
RUPST juga mengukuhkan pengunduran diri Jennifer Maki dari jabatannya sebagai Presiden Komisaris Perseroan. Selanjutnya, pemegang saham Perseroan menerima pengangkatan Eduardo Bartolomeo sebagai Presiden Komisaris Perseroan dan pengangkatan kembali Mark Travers sebagai Wakil Presiden Komisaris, Robert Morris dan Akira Nozaki sebagai Komisaris, serta R. Sukhyar dan Mahendra Siregar sebagai Komisaris Independen, untuk periode sampai dengan penutupan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan Perseroan Tahun 2020.
PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) menyetujui pengangkatan kembali anggota direksi yang masa jabatannya berakhir pada saat penutupan RUPST ini sampai dengan tahun 2020.
Harga Nikel Rendah, Vale Indonesia Rugi Rp 206,5 Miliar di 2017 | PT Rifan Financindo Berjangka
Sementara itu untuk tahun 2018, produksi nikel menurutnya tidak akan banyak berubah dari produksi tahun lalu, yakni sekitar 77.800 ton. Sebab, perusahaan tidak ingin mengambil risiko sehingga semua yang diproduksi harus terjual.
"Karena kalau profit itu tergantung harga nikel sehingga tidak bisa kita kontrol. Jadi yang bisa kami kontrol hanya produksi dan konsumsi," katanya.
Perusahaan juga telah menyiapkan belanja modal (capital expenditure/capex) sebesar USD 95 juta. Dengan rincian, USD 77 juta untuk pengembangan berkelanjutan dan USD 18 juta untuk perbaikan berkala.
Kami juga akan coba pakai (batu bara) kalori yang lebih rendah untuk lebih efisien lagi, tahun lalu kalorinya masih 6.400 Kcal. Tahun ini kami turunkan, tapi tidak bisa di bawah 5.700 Kcal sesuai standar pabrik," jelasnya.
Sementara itu produksi nikel pada 2017 juga menurun 1% dari 77.581 ton dibanding tahun 2016 menjadi 76.807 ton. Namun, perusahaan berhasil membukukan penjualan sebesar USD 629,3 juta atau meningkat 8% dari penjualan tahun sebelumnya sebesar USD 584,1 juta.
Menurut Presiden Direktur INCO, Chris Kanter, Nico Kanter, perusahaan saat ini tengah melakukan efisiensi biaya agar beban tak membengkak dan menyebabkan kerugian. Salah satunya, dengan konversi bahan bakar dari HSFO (High Sulphur Fuel Oil) ke batu bara untuk tanur pengering dan reduksi.
"Dengan cara ini kami berhasil melakukan efisiensi biaya hingga USD 23 juta pada tahun lalu," katanya di Energy Building, Kawasan SCBD, Rabu (4/4).
Perusahaan nikel PT Vale Indonesia Tbk (INCO) mencatatkan kerugian sebesar USD 15,3 juta atau Rp 206,5 miliar (kurs: Rp 13.500) akibat harga nikel yang rendah. Kerugian ini sebenarnya menurun dibanding semester pertama tahun 2017 sebesar USD 21,5 juta seiring membaiknya harga nikel.