PT Garuda Indonesia Tbk (Persero/GIAA) masih tersendat-sendat | PT Rifan Financindo Berjangka
Sepanjang 2017, okupansi penumpang maskapai pelat merah ini sebanyak 36,2 juta penumpang. Sementara, di 2016 angkanya masih 35 juta penumpang.
Pendapatan perseroan juga ditopang menanjaknya lini layanan penerbangan tidak berjadwal sebesar 56,9% menjadi US$301,5 juta.
Pengeluaran tercatat naik 13% menjadi US$4,25 miliiar dari posisi sebelumnya US$3,7 miliar. Pengeluaran terbesar berasal dari biaya bahan bakar (fuel) yang naik 25% dari 2016 lalu yang sebesar US$924 juta menjadi US$1,15 miliar di 2017.
Namun demikian, perseroan tetap mengantongi laba bersih sebesar US$70,4 juta di semester II-2017 yang merupakan akumulasi laba bersih di kuartal tiga tahun lalu sebesar US$61,9 juta dan di kuartal empat, yaitu US$8,5 juta.
GIAA juga membukukan pendapatan operasi sebesar US$4,2 miliar sepanjang 2017, atau meningkat 8,1% dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar US$3,9 miliar. “Pendapatan perseroan terutama dipacu pertumbuhan penumpang yang meningkat 3,5 persen,” kata mantan direktur Bank Mandiri ini.
Jika tidak memasukkan biaya tersebut, maka kerugian yang dicatatkan relatif lebih kecil, yaitu 67,6 juta dolar AS.
"Nilai 213,4 juta dolar AS yang termasuk pos khusus. Pos khususnya apa, jadi memang adanya biaya berpartisipasinya Garuda di program tax amnesty, dan juga yang lebih kecil dari itu, terkait kasus hukum di Australia sebesar 7,5 juta dolar AS,” kata Pahala saat paparan kinerja di Kantor Pusat Garuda Indonesia, Kebon Sirih, Jakarta, Senin (26/2/2018).
Direktur Utama Garuda, Pahala Nugraha Mansury mengatakan, sepanjang 2017, kerugian itu disebabkan oleh adanya perhitungan biaya luar biasa yang terdiri dari program pengampunan pajak (tax amnesty) dan denda terkait kasus hukum di Australia.
2017, PENDAPATAN OPERASIONAL GARUDA NAIK 8,1 PERSEN | PT Rifan Financindo Berjangka
Melalui lini usaha kargo udara, Garuda Indonesia berhasil mengangkut 446,8 ribu ton angkutan kargo, meningkat sebesar 7,4 persen dibandingkan tahun 2016 dengan pendapatan kargo Garuda Indonesia yang meningkat sebesar 8,2 persen menjadi USD 237,1 juta di tahun 2017.
Saat ini Garuda Indonesia Group mengoperasikan total 202 pesawat, dengan rata-rata usia pesawat 5 tahun. Garuda Indonesia mengoperasikan sebanyak 144 pesawat. Adapun saat ini Citilink mengoperasikan sebanyak 58 armada pesawat.
Menurutnya, sepanjang 2017, Garuda Indonesia Group berhasil mengangkut sebanyak 36,2 juta penumpang yang terdiri dari 24 juta penumpang Garuda Indonesia sebagai mainbrand dan 12,3 juta penumpang Citilink. Jumlah tersebut meningkat 3,5 persen dibandingkan tahun 2016 sebesar 35 juta penumpang.
Selama 2017, Garuda Indonesia juga turut mencatatkan peningkatan tren pertumbuhan trafik penumpang internasional sebesar 8,1 persen. Garuda Indonesia melalui anak usaha Citilink berhasil mencatatkan pertumbuhan penumpang sebesar 10,8 persen.
Garuda Indonesia juga mencatatkan tingkat keterisian penumpang (seat load factor) sebesar 74,7 persen dengan tingkat ketepatan waktu (On Time Performance -OTP) sebesar 86,4 persen. Tren pertumbuhan pendapatan operasional tersebut salah satunya ditopang oleh pertumbuhan pendapatan operasional pada lini layanan penerbangan tidak berjadwal yang meningkat sebesar 56,9 persen atau menjadi sebesar 301.5 juta dolar AS.
Selain itu sektor pendapatan lainnya (pendapatan di luar bisnis penerbangan & subsidiaries revenue) turut meningkat sebesar 20,9 persen dengan pembukuan pendapatan sebesar USD 473.8 juta.
Direktur Utama Garuda Indonesia Pahala N. Mansury mengatakan bahwa selain berhasil meningkatkan pertumbuhan positif pada pendapatan operasional perusahaan, menutup tahun 2017 Garuda Indonesia juga berhasil mempertahankan capaian standarisasi layanan bintang 5 dari Skytrax sejak tahun 2014.
Hal tersebut tentunya menjadi bukti komitmen perusahaan untuk terus mengedepankan layanan berkualitas yang berorientasi terhadap “Customer Experience” ditengah strategi efisiensi yang dijalankan manajemen.
PT Garuda Indonesia membukukan pendapatan operasi sebesar 4,2 miliar dolar AS selama 2017 atau meningkat 8,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu 3,9 miliar dolar AS. Kinerja operasional perseroan yang terus menunjukan tren positif tersebut sejalan dengan komitmen manajemen dalam penerapan strategi “5 Quick Wins” yang dijalankan sejak kuartal 2 – 2017.
Bukukan Laba di Semester II, Garuda Catat Rugi Rp2,88 Triliun Sepanjang 2017 | PT Rifan Financindo Berjangka
Pahala menjelaskan, kontribusi pendapatan paling besar adalah dari sisi penumpang terutama dari sisi penumpang rute internasional. Dia mengakui saat terjadi Erupsi Gunung Agung ada periode Oktober lalu turut memangkas pendapatan perseroan pada kuartal IV-2017.
"Pengaruh dari erupsi yang terjadi pada awal mempengaruhi pada penumpang yang kita angkut," jelas dia.
Adapun total jumlah penumpang sepanjang tahun 2017 adalah 36,2 juta penumpang atau mengalami kenaikan sebesar 3,5% (yoy). Adapun pendapatan operasional mencapai USD4,2 miliar atau mengalami peningkatan 8,1% (yoy). Garuda Indonesia mencatatkan on time performance (OTP) sebesar 86,4%.
Pahala mengatakan apabila penghitungan non recurring expense pada kuartal II-2017 tidak dimasukkan, maka kerugian yang dialami perseroan adalah sebesar USD67,6 juta.
"Kalau kita masukkan memang Garuda Indonesia secara full year membukukan kerugian USD213,4 juta, tapi kalau kita keluarkan poin tadi kita juga memang rugi, terutama ada rugi di triwulan pertama. Tetapi kalau kita lihat di triwulan empat kita sudah membukukan laba," kata dia dalam paparan kinerja Garuda Indonesia periode 2017 di Jakarta, Senin (26/2/2018).
Perbaikan mulai tampak pada kuartal III-2017 dengan catatan laba sebesar USD61,9 juta. Akan tetapi, laba tersebut turun pada kuartal IV-2017. Garuda Indonesia hanya mampu mengantongi laba sebesar USD8,5 juta pada kuartal IV-2017.
Sayangnya, kerugian makin membengkak di periode kuartal II-2017 yaitu USD184,7 juta. Pada periode ini, Garuda Indonesia harus menanggung non recurring expense yang di komposisi dari pembayaran tax amnesty sebesar USD137 juta. Selain itu, perseroan harus membayar denda atas kasus persaingan bisnis kargo dengan Australia sebesar USD7,5 juta.
Apabila dikurangi dengan biaya extraordinary tersebut, maka kerugian Garuda Indonesia pada Kuartal II-2017 mencapai USD38,9 juta.
Pada kuartal I-2017, perusahaan dengan kode saham GIAA itu mencatat kerugian sebesar USD99,1 juta. Beban finansial ini lantas dialihkan kepada manajemen baru yang dipimpin oleh Pahala Mansury sebagai Direktur Utama.
Maskapai penerbangan plat merah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mencatatkan rugi sebesar USD213,4 juta atau setara dengan Rp2,88 triliun (kurs Rp13.500 per USD) sepanjang 2017. Jumlah ini mengalami penurunan sebesar 2.378% dibandingkan dengan 2016 yang berhasil mengantongi laba sebesar USD9,36 juta atau setara dengan Rp126,36 miliar.
Direktur Utama Garuda Indonesia Pahala Mansury menjelaskan, pada kuartal III dan IV-2017 perseroan telah mampu mengantongi laba. Akan tetapi, laba tersebut tidak dapat menutupi kerugian yang menganga di kuartal I dan II 2017.