PT Garuda Indonesia (Perseroan) Tbk mencatatkan kerugian sepanjang Tahun 2017 senilai 213,4 juta dolar | PT Rifan Financindo Berjangka
Pengamat penerbangan Alvin Lie menilai, kerugian yang dialami maskapai pelat merah ini perlu dilihat baik dari aspek industri penerbangan itu sendiri, tren persaingan bisnisnya, maupun aspek internal seperti konsolidasi yang terjalin dengan awak pesawat, ataupun pekerja terkait lainnya.
Apalagi, menurut Alvin, jajaran direksi yang menjabat saat ini terhitung baru, sehingga masih membutuhkan masa transisi dalam kepengurusan managemennya.
"Kalau ruginya karena ada tax amnesty, masih maklum. Tapi kalau yang terkena denda itu kan berarti ada kesalahan manajemen. Yang terpenting, bukan untung ruginya, tapi bagaimana langkah perbaikan yang telah dilakukan bisa meningkatkan pendapatan,"
Selain itu, sektor pendapatan lainnya (pendapatan di luar bisnis penerbangan & subsidiaries revenue) turut naik 20,9 persen dengan pembukuan pendapatan 473.8 juta dolar AS.
Pahala berharap, tahun ini perseroan masih bisa mencatatkan perbaikan kinerja. Salah satu caranya, dengan me-review kembali rute-rute penerbangan yang telah dilayani selama ini.
"Kami akan lihat kembali rute mana yang masih memberikan kontribusi kurang maksimal. Tapi bukan berarti ditutup, bisa juga kita cari kerja sama dengan pihak lain," tandasnya.
Dia menambahkan, sepanjang 2017 perseroan mampu mengangkut penumpang secara grup sebanyak 36,2 juta penumpan. Terdiri dari penumpang Garuda Indonesia sebanyak 24 juta, naik sedikit dari tahun sebelumnya 23,9 juta penumpang. Sementara, penumpang PT Citilink Indonesia selaku anak usaha naik, naik dari 11,1 juta menjadi 12,3 juta penumpang.
Dari sisi pendapatan operasi, perusahaan pelat merah ini mengalami kenaikan sebesar 8,1 persen dari 3,86 miliar dolar AS menjadi 4,17 miliar dolar AS.
"Pendapatan itu paling besar masih disumbang dari penerbangan berdjawal sebesar 3,4 miliar dolar AS. Kalau dari lini layanan penerbangan tidak berjadwal sebesar 301.5 juta dolar AS atau naik 56,9 persen," imbuhnya.
Belum lagi, beban total pengeluaran perseroan juga mengalami peningkatan 13 persen dari 3,7 miliar dolar ASmenjadi 4,25 miliar dolar AS.
Ia menyebutkan, kenaikan pengeluaran yang paling besar berasal dari biaya bahan bakar yang naik 25 persen dari 924 juta dolar AS menjadi 1,15 miliar dolar AS.
"Biaya fuel naik cukup signifikan. Tapi, di luar biaya fuel masih bisa kita tekan. Di luar itu pendapatan kami juga terpengaruh dari adanya disrupsi seperti erupsi Gunung Agung yang ikut mempengaruhi jumlah penumpang," terang Pahala.
Dia mengakui, pada kuartal IV-2017, pihaknya hanya mampu mengantongi laba bersih sebesar 8,5 juta dolar AS atau turun 83,9 persen dari capaian laba bersih pada kuartal IV-2016 sebesar 53 juta dolar AS.
Perolehan keuntungan tersebut tak mampu menutupi kerugian di kuartal-kuartal sebelumnya. Yang mana, pada kuartal I-2017 perseroan rugi 99,1 juta dolar AS, kuartal II-2017 rugi 184,7 juta dolar AS. Padahal di kuartal III-2017, perseroan mampu mengantongi laba bersih senilai 61,9 juta dolar AS.
"Memang untuk laba di kuartal IV-2017 lebih rendah dari laba kuartal IV-2016 lantaran melakukan efisiensi dari karyawan," katanya.
"Cost khusus ini apa? Ada yang terkait tax amnesty, dan juga karena terkena kasus hukum di Australia. Ada denda pengadilan, maka total kerugian (net loss) yang dibukukan Garuda Indonesia pada tahun kinerja 2017 sebesar 213,4 juta dolar AS," jelas Pahala di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, partisipasi pada program tax amnesty tersebut merupakan komitmen perusahaan untuk menyelesaikan permasalahan pajak yang tertunda sampai tahun 2015.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan capaian perseroan di tahun sebelumnya yang masih mampu meraup laba sebesar 9,4 juta dolar AS atau sekitar Rp 126,9 miliar.
Direktur Utama Garuda Indonesia Pahala N Mansury mengklaim, perhitungan catatan kerugian tersebut karena adanya biaya extra ordinary items (biaya khusus) seperti tax amnesty dan denda sebesar 145.8 juta dolar AS yang merupakan long term policy manajemen dalam menyehatkan kondisi finansial perusahaan secara jangka panjang.
Garuda Indonesia Bidik Raup Laba US$8,7 Juta di 2018 | PT Rifan Financindo Berjangka
Selain hedging, perusahaan juga akan menjalankan program efisiensi penggunaan avtur demi mengendalikan biaya operasional, termasuk memroses rute-rute yang menguntungkan dan meniadakan beberapa rute.
Pun demikian, ia menolak merinci rute mana saja yang akan ditutup. Ia menilai, penutupan rute sebagai bagian dari restrukturisasi demi efisiensi dan meningkatkan ketersediaan kursi penumpang.
"Rute-rute yang akan dibuka dan ditutup masih bisa diumumkan. Tapi, restrukturisasi dari rute-rute ini, contohnya rute dari Ujung Pandang ke Medan atau Palembang tanpa transit. Selain itu, misalnya ada rute yang ke Denpasar ketersediaannya masih dibawah 70 persen akan ditinjau ulang," pungkasnya.
Sebagai strategi, perusahaan akan melakukan strategi lindung nilai (hedging), terutama untuk mengantisipasi fluktuasi harga avtur. Maklum, harga bahan bakar avtur berpengaruh besar terhadap operasional perusahaan.
Menurut catatan perusahaan, biaya avtur berkontribusi sebesar 13 persen terhadap total biaya operasional di tahun lalu, yaitu US$4,25 miliar. Tahun lalu, peningkatan biaya avtur mencapai 25 persen. Padahal, tahun sebelumnya, biaya avtur cuma US$1,15 miliar.
"Soal avtur, kami melakukan hedging tahun ini yang kisarannya masih dibawah 50 persen, tetapi itu sudah meningkat dua kali lipat dibanding tahun lalu," imbuh Pahala.
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk menargetkan meraup laba bersih sebesar US$8,7 juta di penghujung tahun ini. Target ini boleh dibilang optimis, mengingat tahun lalu perusahaan maskapai pelat merah tersebut merugi hingga US$213,4 juta.
"Kami berharap, setahun penuh, kami sudah bisa membukukan laba," ujar Direktur Utama Garuda Indonesia Pahala N Mansury, Senin (26/2).
Pertumbuhan laba tahun ini akan ditopang oleh pendapatan perusahaan yang dibidik tembus US$4,9 miliar atau naik 16,6 persen. Target itu memperhitungkan pertumbuhan ekonomi 5,4 persen, inflasi di kisaran 3,5 persen, dan nilai tukar sebesar Rp13.500 per dolar AS.
Garuda Bukukan Pendapatan Sebesar US$4,2 Miliar pada 2017 | PT Rifan Financindo Berjangka
Sementara itu, VP Corporate Secretary Garuda Indonesia, Hengki Heriandono mengatakan sepanjang tahun 2017, Garuda Indonesia Group berhasil mengangkut sebanyak 36,2 juta penumpang yang terdiri dari 24 juta penumpang Garuda Indonesia sebagai mainbrand dan 12,3 juta penumpang Citilink.
“Jumlah ini meningkat 3,5 persen dibandingkan tahun 2016 sebesar 35 juta penumpang. Selama tahun 2017, Garuda Indonesia juga turut mencatatkan peningkatan tren pertumbuhan trafik penumpang internasional sebesar 8,1 persen. Garuda Indonesia melalui anak usaha Citilink berhasil mencatatkan pertumbuhan penumpang sebesar 10,8 persen,” katanya.
Melalui lini usaha kargo udara, tambah Hengki, Garuda Indonesia berhasil mengangkut 446,8 ribu ton angkutan kargo. Jumlah ini meningkat sebesar 7,4 persen dibandingkan tahun 2016 dengan pendapatan kargo Garuda Indonesia yang meningkat sebesar 8,2 persen menjadi 237,1 juta dollar AS di tahun 2017.
apaian positif tersebut tentunya juga sejalan dengan upaya perusahaan dalam menekan catatan kerugian (net loss) hingga menjadi rugi 67,6 juta dollar AS pada kinerja full year 2017. Jumlah tersebut berkurang cukup signifikan dari tekanan kerugian di semester 1-2017.
“Adapun perhitungan catatan kerugian tersebut di luar perhitungan biaya extra ordinary items yang terdiri dari tax amnesty dan denda sebesar 145,8 juta dollar AS yang merupakan long term policy manajemen dalam menyehatkan kondisi finansial perusahaan secara jangka panjang,” katanya.
Pahala menambahkan sepanjang tahun 2017, pihaknya berhasil menekan catatan kerugian dari Kuartal 1-2017 dari rugi sebesar 99,1 juta dollar AS berkurang menjadi rugi sebesar 38,9 dollar AS pada Kuartal 2-2017. Perusahaan berhasil membukukan laba bersih sebesar 61,9 juta dollar AS pada Kuartal 3-2017.
Angka tersebut naik 216,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sepanjang semester 2-2017, tambah Pahala, Garuda Indonesia berhasil membukukan laba bersih hingga 70,4 juta dollar AS yang merupakan hasil akumulasi laba bersih di kuartal 3-2017 sebesar 61,9 juta dollar AS dan laba bersih di kuartal 4-2017 sebesar 8,5 juta dollar AS.
Menurut Pahala, tren pertumbuhan pendapatan operasional tersebut salah satunya ditopang oleh pertumbuhan pendapatan operasional pada lini layanan penerbangan tidak berjadwal.
Pada layanan ini meningkat sebesar 56,9 persen atau menjadi sebesar 301,5 juta dollar AS. “Selain itu sektor pendapatan lainnya (pendapatan di luar bisnis penerbangan & subsidiaries revenue) turut meningkat sebesar 20,9 persen dengan pembukuan pendapatan sebesar 473,8 juta dollar AS,” kata Pahala.
Selain berhasil meningkatkan pertumbuhan positif pada pendapatan operasional perusahaan, menutup tahun 2017 Garuda Indonesia juga berhasil mempertahankan capaian standarisasi layanan bintang 5 dari Skytrax sejak tahun 2014,” kata Direktur Utama Garuda Indonesia, Pahala N Mansury, dalam pernyataan tertulis yang diterima Koran Jakarta, Senin (26/2).
Pada 2017, tambah Pahala, maskapai juga mencatatkan tingkat keterisian penumpang (seat load factor) sebesar 74,7 persen dengan tingkat ketepatan waktu (on time performance/ OTP) sebesar 86,4 persen. Semua capaian ini menjadi bukti komitmen perusahaan untuk terus mengedepankan layanan berkualitas yang berorientasi terhadap customer experience di tengah strategi efisiensi yang dijalankan manajemen.
PT Garuda Indonesia (Persero) membukukan pendapatan operasi sebesar 4,2 miliar dollar Amerika Serikat (AS) selama tahun 2017. Jumlah pendapatn tersebut meningkat 8,1 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, sebesar 3,9 miliar dollar AS.