PT Pertamina (Persero) menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) | PT Rifan Financindo Berjangka
Perlu diketahui, kenaikan harga ini per wilayah berbeda, rata-rata kenaikan dari harga sebelumnya Rp 100 hingga Rp 300 per liter," kata Adiatma. Saat ditanya apakah ada kemungkinan harga kembali turun, Adiatma mengatakan, hal tersebut akan selalu dievaluasi secara berkala.
Namun, yang pasti patokanya pada harga minyak mentah. "Kami akan selalu pantau. Kalau minyak stabil, tidak ada kenaikan lagi," kata Adiatma.
Perubahan harga kami terapkan pada pukul 00.00 Sabtu kemarin. Ini sepenuhnya dipengaruhi harga minyak mentah dunia," kata Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Adiatma Sardjito saat dihubungi Kompas.com, Minggu (25/2/2018).
Kenaikan harga berada di kisaran Rp 300 per liter. BBM jenis Pertalite dari sebelumnya Rp 7.600 per liter untuk wilayah Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) kini menjadi Rp 7.900 per liter.
Pertamax dari Rp 8.600 per liter kini menjadi Rp 8.900 per liter dan untuk Pertamax Turbo menjadi Rp 10.100. Kenaikan tertinggi terjadi pada jenis Dexlite, dari Rp 7.500 per liter kini menjadi Rp 8.100 per liter.
PT Pertamina (Persero) menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada Sabtu (24/2/2018). Penetapan harga baru ini berlaku untuk jenis BBM non-subsidi dengan jenis Pertamax, Pertamax Turbo, Pertamax Racing, Dexlite, dan Pertamina Dex.
BBM 1 Harga Bukan Alasan Pertamax Cs Naik | PT Rifan Financindo Berjangka
Sekadar informasi, Pemerintah menaikan harga BBM non-subsidi terhitung sejak 24 Februari 2018 lalu, mulai dari Rp300 per liter hingga Rp750 per liter. Tercatat, harga Pertamax naik Rp300 per liter menjadi Rp8.900 per liter dari harga sebelumnya Rp8.600 per liter.
Untuk harga minyak acuan Brent (ICE) berkisar USD67,31 per barel, WTI Crude Oil berada di harga USD63,55 per liter. Sedangkan kurs Rupiah berada di angka Rp13.685 per USD.
Di kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Herman Khaeron menyebut langkah yang diambil Pertamina untuk menaikan harga BBM non-subsidi sesuai dengan mekanisme pasar.
"Kalau berhitung pada mekanisme pasar ya formulasinya seperti itu, ketika harga internasionalnya naik, harga pasarnya naik. Nunggu kenaikan rata-rata satu bulan, kalau tidak turun lagi dan dihitung dari harga penetapan sebelumnya ya hitungan liberalnya wajar," ujarnya.
"Bukan untuk menutup premium yang tidak disesuaikan dan solar yang tidak disesuaikan serta satu harga yang dibebankan kepada Pertamina," imbuh dia.
Namun, dia memandang kenaikan BBM non-subsidi sedikit meringankan beban Pertamina lantaran harga minyak terus naik. Apabila harga BBM non-subsidi tidak disesuaikan, maka dipastikan beban finansial perusahaan migas negara itu makin berat.
"Jadi intinya ada dua masalah, subsidi penugasan bermasalah, kalau masalah ini ditambah masalah baru yang non-subsidi tidak dinaikkan kan ada dua masalah. Berarti masalah makin besar. Tetapi yang di sini tidak menyelesaikan masalah yang di sana, hanya tidak menambah masalah" ujar dia.
Akan tetapi, soal beban Pertamina di unit BBM subsidi maupun BBM satu harga, Komaidi menyebut hal tersebut sebagai pokok permasalahan yang terpisah.
"Kalau konteksnya ke Pertamina apakah menutup BBM penugasan dan satu harga yang membebani mereka ini dua hal yang terpisah sebenarnya. Jadi tanpa adanya itu pun ini harus disesuaikan," ujarnya dalam diskusi Menelisik Kemampuan Pertamina dalam Mengelola Blok Migas Habis Kontrak, di Hotel Atlet Century, Jakarta, Senin (26/2/2018).
PT Pertamina (Persero) menaikkan harga Bahan Bakar Minyk (BBM) non-subsidi pada tanggal 24 Februari 2018 lalu. Kenaikan ini menyesuaikan dengan kenaikan harga minyak mentah dunia sementara kurs Rupiah belum dapat menyeimbangkan kenaikan itu.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menjelaskan, kenaikan tersebut adalah langkah wajar yang dilakukan Pertamina sebagai korporasi untuk menyesuaikan harga. Dengan demikian, upaya itu akan membantu sisi finansial Pertamina di unit BBM non subsidi untuk menghindari kerugian.
BBM Naik Bikin Rakyat Tambah Sengsara | PT Rifan Financindo Berjangka
Laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPS) menunjukkan bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga rata-rata di bawah 5 persen atau di bawah pertumbuhan ekonomi. Padahal, peranannya mencapai 55 persen terhadap PDB. Pada 2017, pertumbuhan ekonomi hanya 5,07 persen, di mana konsumsi rumah tangga hanya naik 4,95 persen. Padahal pemerintah ingin ekonomi bisa meroket atau setidaknya memenuhi target APBN-P 2017 sebesar 5,2 persen.
"Jika pertumbuhan ekonomi tetap rendah, bagaimana pemerintah akan mampu menurunkan angka kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan yang lebih cepat," tegas Ecky yang juga anggota Komisi XI DPR RI.
"Jadi, rakyat akan menahan untuk konsumsi sebagai upaya antisipasi kalau-kalau minyak naik lagi. Jelas akan sulit mencapai target pertumbuhan tinggi jika pemerintah seringkali menaikkan BBM," beber Ecky.
Konsumsi rumah tangga Indonesia sebagian besar golongan menengah ke bawah. Bagi golongan menengah, saat terjadi tekanan harga, maka mereka akan menunda belanja. Namun, bagi golongan bawah, kenaikan harga menyebabkan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar.
"Saya fikir pemerintah sangat paham tentang hal itu," ujar Ecky.
Menurutnya, pengaruh inflasi itu tidak bisa dibatasi pada kelompok tertentu saja. Misalnya pada golongan orang kaya. Sebaliknya, inflasi lebih menekan bagi rakyat kecil, meski kebijakan yang diambil tidak terkait dengan kepentingan mereka.
"Dengan demikian, agak sulit juga memperbaiki ketimpangan, jika harga barang-barang pokok terus diintervensi. Kebijakan ini jelas-jelas tidak pro rakyat," kata Ecky.
Lanjutnya, pertumbuhan ekonomi memiliki tendensi melambat karena perlambatan konsumsi rumah tangga akibat penurunan daya beli.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ecky Awal Mucharram menilai, langkah penyesuaian harga BBM akan semakin memberatkan ekonomi rakyat.
"Tentu daya beli akan kembali terganggu karena langkah ini menyulut inflasi. Pada Januari lalu, inflasi mencapai 3,25 persen (yoy), di mana inflasi energi mencapai 8,6 persen, inflasi harga diatur pemerintah 5,82 persen. Artinya, gejolak inflasi masih disebabkan oleh intevensi pemerintah di bidang harga, bukan karena peningkatan konsumsi," jelas Ecky di Jakarta, Senin (26/2).
Kenaikan harga sekitar Rp 300 per liter untuk wilayah Jawa dan Bali, sedangkan di wilayah lain kenaikan beragam. Harga Pertamax di Jakarta naik menjadi Rp 8.900, harga Dexlite naik dari Rp 7.500 menjadi Rp 8.100.
PT Pertamina menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) non subsidi seperti Pertamax, Dexlite maupun Pertalite terhitung 24 Februari.