Harga minyak bervariasi pada akhir perdagangan Kamis (Jumat pagi WIB) | PT Rifan Financindo Berjangka
Komite Teknis Bersama Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) bertemu pekan ini di Jeddah, menemukan bahwa persediaan di negara-negara maju pada Maret berada hanya di 12 juta barel di atas rata-rata lima tahun, menurut sumber yang akrab dengan masalah ini.
Namun, Menteri Perminyakan Oman, Mohammed bin Hamad Al Rumhi, mengatakan dia masih berpendapat pasar minyak kelebihan pasokan.
Reuters melaporkan pada Rabu (18/4) bahwa Arab Saudi akan senang untuk minyak mentah mencapai 80 dolar AS atau bahkan USD100 per barel, dilihat sebagai tanda bahwa Riyadh tidak akan mencari perubahan pada perjanjian pasokan.
Juga mendukung harga adalah kemungkinan bahwa Amerika Serikat akan menerapkan kembali sanksi terhadap Iran, produsen terbesar ketiga OPEC, yang dapat mengakibatkan pengurangan pasokan lebih lanjut.
Itu tergantung pada ekspektasi saat ini - 'bullish' mungkin berhenti, dan orang-orang bertanya, 'Apa langkah selanjutnya; Anda perlu melihat sinyal berikutnya, apakah itu sinyal 'bullish' atau 'bearish'." Para pdagang mengatakan spekulan terus bertaruh pada kenaikan lebih lanjut, memperkirakan potensi gangguan pasokan dan penarikan lebih lanjut, didorong oleh permintaan yang kuat. Lebih dari 830.000 kontrak bulan depan berpindah tangan di CME Group New York Mercantile Exchange pada Kamis (19/4), dibandingkan dengan rata-rata harian sekitar 615.000.
Para investor mengincar level USD70 pada minyak mentah AS, tetapi mengatakan bahwa kemungkinan akan menghadapi resistensi, terutama karena kecepatan dan besarnya reli baru-baru ini, tak lama lagi akan menjadi pertanda tekanan penjualan.
"Saya pikir kita bisa melihat USD70 cukup cepat, tetapi saya ingin mengingatkan bahwa mungkin kita akan melihat level pasar sedikit keluar dalam beberapa minggu ini," kata Phil Flynn, analis di Price Futures Group di Chicago.
Patokan AS, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Mei, menetap 18 sen AS lebih rendah pada USD68,29 per barel di New York Mercantile Exchange, setelah sebelumnya mencapai USD69,56 tertinggi sejak 28 November 2014.
WTI telah meningkat hampir 8,00 persen dalam delapan hari terakhir perdagangan.
Sementara itu, patokan global, minyak mentah Brent untuk pengiriman Juni, bertambah 0,3 dolar AS menjadi ditutup pada USD73,78 per barel di London ICE Futures Exchange.
Patokan global menyentuh USD74,75 per barel, tertinggi sejak 27 November 2014 - hari ketika OPEC memutuskan untuk memompa sebanyak yang mereka bisa untuk mempertahankan pangsa pasar.
"Secara keseluruhan persamaan penawaran-permintaan cukup seimbang," kata Anthony Scott, direktur pelaksana di BTU Analytics di Denver.
Harga minyak bervariasi pada akhir perdagangan Kamis (Jumat pagi WIB), setelah mencapai tertinggi yang tidak terlihat sejak 2014, didukung penurunan berkelanjutan pasokan global dan ketika Arab Saudi mendorong harga lebih tinggi, meskipun minyak mentah AS memberikan kembali keuntungannya di sore hari menjadi ditutup lebih rendah.
Kelebihan pasokan minyak global telah hampir lenyap, menurut panel teknis gabungan OPEC dan non-OPEC, dua sumber yang akrab dengan masalah itu mengatakan, sebagian berkat kesepakatan pemotongan pasokan yang dipimpin OPEC sejak Januari 2017.
Minyak cetak rekor tertinggi sejak 2014 | PT Rifan Financindo Berjangka
Apalagi, data inflasi sejumlah negara besar, seperti Uni Eropa, Inggris dan Jepang, baru-baru ini belum memenuhi ekspektasi. Lesunya ekonomi akan berdampak pada menurunnya permintaan terhadap komoditas ini. "Secara fundamental, harga minyak belum terlalu kuat. Kami akan lihat kondisi harga setelah Juni nanti, apakah mampu menembus US$ 70 per barel," terang Deddy.
Perlu diingat, masih ada sentimen kenaikan lanjutan suku bunga acuan AS yang membayangi pasar. Naiknya suku bunga akan mengangkat dollar AS dan memberi dampak negatif pada komoditas berdenominasi dollar AS.
Karena itu, Deddy memprediksikan, hingga akhir kuartal-II 2018 harga minyak bergerak dalam rentang US$ 63,80-US$ 69 per barel. Sementara, Nizar memperkirakan harga minyak akan bergerak di kisaran level US$ 62-US$ 72 per barel hingga Juni nanti.
Namun laju harga minyak ke depan juga masih ditentukan oleh hasil rapat tahunan OPEC pada Juni mendatang. Dalam rapat ini, akan diputuskan apakah anggota OPEC dan Rusia masih bersedia melanjutkan kebijakan pemangkasan produksi.
Kalau kebijakan berlanjut, tentu akan menjadi katalis positif buat harga minyak. "Sebaliknya, penghentian kesepakatan bisa menekan harga," tambah Nizar.
Di tengah kondisi AS yang masih menggenjot harga, Deddy berpendapat, harga minyak juga bergantung pada tingkat permintaan.
Driving season adalah istilah untuk menggambarkan masa liburan di AS, di mana banyak orang bepergian dengan mobil. Musim berkendara ini biasanya terjadi terutama di musim panas.
Sentimen tambahan juga masih berasal dari potensi konflik geopolitik, baik di Suriah, Iran, maupun semenanjung Korea. Analis Asia Tradepoint Futures Deddy Yusuf Siregar menjelaskan, Presiden AS Donald Trump sempat membuat pernyataan bahwa ada potensi pertemuan antara dirinya dan pemimpin tertinggi Korea Utara Kim Jong Un tidak akan terjadi. "Kalau pertemuan ini batal, ada kekhawatiran ketegangan di Korea kembali muncul," ujar dia.
Analis Global Kapital Investama Nizar Hilmy mengatakan, harga minyak mendapat suntikan sentimen positif setelah Energy Information Administration (EIA) melaporkan stok minyak mentah Amerika Serikat (AS) pada pekan yang berakhir 13 April menyusut 1,1 juta barel. Di samping itu, harga minyak juga menguat lantaran driving season di AS.
Harga minyak mentah masih melaju kencang. Dalam pekan ini, harga minyak terus bergerak mencetak rekor baru. Namun, para analis melihat harga minyak berpeluang terkoreksi dalam waktu dekat.
Kemarin, per pukul 19.20 WIB, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) kontrak pengiriman Mei 2018 di New York Mercantile Exchange menguat 0,98% ke level US$ 69,14 per barel. Ini merupakan harga tertinggi sejak Desember 2014. Dalam sepekan, harga emas hitam sudah melonjak 3,58%.
Harga Minyak Bervariasi Dipicu Kondisi Pasokan | PT Rifan Financindo Berjangka
Pedagang mengatakan spekulan terus bertaruh pada kenaikan harga lebih lanjut, dengan harapan adanya potensi gangguan pasokan dan penarikan lebih lanjut, didorong permintaan yang kuat.
Lebih dari 830 ribu kontrak bulan depan berpindah tangan di CME Group New York Mercantile Exchange pada hari Kamis, dibandingkan dengan rata-rata harian sekitar 615 ribu.
Investor mengincar posisi harga minyak di level USD 70 pada minyak mentah AS. Namun ini diakui akan menghadapi resistensi, terutama karena kecepatan dan besarnya laju harga baru-baru ini akan menjadi pertanda tekanan penjualan.
"Saya pikir kita bisa melihat harga minyak USD 70 cukup cepat, tetapi saya ingin mengingatkan bahwa mungkin kita akan melihat pasar sedikit naik dalam beberapa minggu," kata Phil Flynn, analis di Price Futures Group di Chicago.
Melansir laman Reuters, Jumat (20/4/2018), harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) di AS tercatat 18 sen lebih rendah menjadi USD 68,29 per barel setelah sebelumnya mencapai USD 69,56. Ini merupakan posisi tertinggi sejak 28 November 2014. WTI telah memperoleh kenaikan hampir 8 persen dalam delapan hari terakhir perdagangan.
Sementara minyak mentah berjangka Brent berakhir di posisi USD 73,78 per barel, naik 30 sen. Patokan minyak global menyentuh USD 74,75 per barel, tertinggi sejak 27 November 2014, di mana saat itu OPEC memutuskan untuk memompa sebanyak yang mereka bisa untuk mempertahankan pangsa pasar.
"Secara keseluruhan persamaan penawaran-permintaan cukup seimbang," kata Anthony Scott, Managing Director BTU Analytics di Denver.
Harga minyak sempat mencapai posisi tertinggi sejak 2014. Kondisi ini dipicu pembatasan pasokan minyak global yang berkelanjutan sehingga mendorong harga lebih tinggi. Meskipun pasokan minyak mentah AS yang kembali naik di sore hari membuat harga minyak negara ini ditutup lebih rendah.
Kekenyangan pasokan minyak global hampir tereleminasi. Menurut panel teknis gabungan OPEC dan non-OPEC, dua sumber yang akrab dengan masalah itu, mengatakan, sebagian berkat kesepakatan pemotongan pasokan minyak yang dipimpin OPEC sejak Januari 2017.