Harga minyak dunia cenderung mengalami kenaikan yang signifikan | PT Rifan Financindo Berjangka
Lalu, bila diperhitungkan cash inflow dari windfall 2016 Rp40 triliun, dari share down saham Blok Mahakam pada awal 2018 sebesar Rp47,84 triliun, dan potensi pendapatan bersih pengelolaan Blok Mahakam pada akhir 2018 sebesar Rp4,12 triliun, maka total cash inflow pada 2016-2018 Rp91,96 triliun.
"Jumlah itu masih sangat mencukupi untuk menutup potensi kerugian akibat tidak dinaikan harga BBM pada 2017-2018. Bahkan sepanjang 2019, tidak perlu ada kenaikan harga BBM, lantaran total cash inflow itu masih sangat memadai untuk menutup potensi opportunity lost Pertamina hingga akhir 2019," ujarnya.
Di luar wind fall yang dinikmati Pertamina, pemerintah juga memberikan beberapa kompensasi kepada Pertamina. Salah satunya adalah pemberian hak pengelolaan Blok Mahakam terhitung sejak 1 Januari 2018.
Dengan pemberian non-cash asset Blok Mahakam, lanjut dia, aset Pertamina betambah US$9,43 miliar, atau sekitar Rp122,59 triliun. Sehingga, total aset Pertamina kini naik menjadi US$54,95 miliar, atau Rp714,35 triliun.
Selain itu, pada saat penetapan harga BBM di atas harga keekonomian, Pertamina menikmati keuntungan besar sebagai wind fall. Pada saat harga ICP merosot di kisaran US$38 per barel pada 2016, pemerintah memutuskan tidak menurunkan harga jual BBM, sehingga Pertamina meraup keuntungan sekitar Rp40 triliun.
"Jadi, kalau potensi kerugian penjualan harga BBM pada 2017 sebesar Rp19 triliun dikompensasikan keuntungan pada 2016, Pertamina masih mengantongi selisih keuntungan sekitar Rp21 triliun. Dan, keuntungan itu masih memadai menutup potensi kerugian, akibat kenaikan harga minyak dunia pada 2018," jelasnya.
Sementara itu, terkait dengan keputusan tidak naiknya harga BBM hingga Maret 2018, Radhi mengakui, banyak hal yang bisa diambil untuk ekonomi selain kerugian Pertamina. Salah satunya adalah inflasi, konsumsi, dan daya beli yang sedang lemah.
Untuk itu, sebenarnya tidak benar bila ada yang mengatakan pemerintah membiarkan Pertamina merugi. Sebab, dalam formula penetapan harga jual BBM, Pemerintah sebenarnya memasukkan komponen biaya penugasan sekitar Rp550 per liter dan memberikan margin kepada Pertamina sekitar Rp250 per liter.
"Sebaliknya, pada saat harga minyak dunia sedang melonjak dan pemerintah menetapkan harga BBM di bawah harga keekonomian, Pertamina memang menanggung potensi kerugian," jelas dia dalam keterangan tertulis, Kamis 25 Januari 2018.
Adapun kerugian yang diderita Pertamina mengacu pada Indonesian Crude Price (ICP) yang ada di kisaran US$59 per barel, potesi opportunity loss bisa mencapai sekitar Rp19 triliun. Sehingga, bila ICP naik lebih tinggi, tentu opportunity loss semakin besar.
Yaitu, di mana pada saat harga minyak dunia sedang rendah dan pemerintah menetapakan harga BBM di atas harga keekonomian, Pertamina dapat meraup kentungan besar.
Pengamat Ekonomi Energi UGM dan mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Fahmy Radhi mengatakan, sebenarnya sejak harga BBM ditetapkan oleh pemerintah, ada dua posisi yang bisa beri keuntungan atau kerugian Pertamina.
Sejak 2017 hingga memasuki awal 2018, harga minyak dunia cenderung mengalami kenaikan yang signifikan, yang puncaknya mencapai US$70,37 per barel. Itu adalah harga tertinggi sejak Desember 2014.
Meski sempat turun, harga minyak dunia bertengger tinggi di US$63,61 per barel pada 16 Januari 2018. Tingginya harga minyak itu berpotensi menambah beban Pertamina dalam mendistribusikan BBM Penugasan. Terlebih, pemerintah memutuskan tidak menaikkan harga BBM hingga Maret 2018.
Dolar AS Keok, Harga Minyak Tembus Level Tertinggi Sejak 2015 | PT Rifan Financindo Berjangka
Data pemerintah AS menunjukkan, stok minyak mentah AS pada pekan lalu kembali merosot untuk 10 minggu berturut-turut dan membawanya ke level terendah sejak Februari 2015.
"Proses menyeimbangkan kembali pada hal fundamental berlanjut," ujar McGillian.
Namun, ia mengingatkan bahwa kenaikan persedian nantinya berpotensi sebagai sinyal bakal turunnya harga (bearish).
Lebih lanjut, Badan Admisnistrasi Informasi Energi AS (EIA) memperkirakan produksi minyak As bisa menembus level 10 juta barel per hari (bph) pada Februari mendatang, mendekati rekor tertingginya sepanjang masa, 10,4 juta bph, yang dicetak pada tahun 1970, serta menyusul produksi minyak Arab Saudi dan Rusia.
Di saat bersamaan, mengetatnya pasokan global akibat kesepakatan pemangkasan produksi oleh Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC), Rusia, dan beberapa negara produsen minyak lainnya juga mendongkrak harga minyak mentah dunia.
Penurunan secara tidak sengaja pada produksi minyak Venezuela pada beberapa bulan terakhir juga memperbesar efek dari pemangkasan produksi yang dilakukan oleh OPEC dan sekutunya tersebut.
Pemangkasan sebesar 1,8 juta barel tersebut telah dilakukan sejak Januari 2018. Namun, kenaikan produksi minyak shale AS mampu menyeimbangkan efeknya mengingat kenaikan harga minyak mendorong lebih banyak investasi untuk memperbanyak produksi.
Kemudian, stok minyak mentah AS terus menurun, menggarisbawahi ide bahwa pasokan global tengah kembali seimbang setelah sebelumnya membanjir.
Kurs dolar AS terhadap keranjang mata uang lain menyentuh titik terendahnya sejak Desember 2014. Penurunan nilai lebih jauh dipicu oleh komentar Gubernur Bank Sentral Eropa yang mendokrak nilai tukar euro setelah komentar Bendahara AS Steven Mnuchin mengakan bahwa pelemahan kurs dolar AS "bagus bagi kami (AS)".
Jatuhnya nilai tukar dolar AS menyebabkan harga komoditas yang diperdagangkan dengan dolar AS menjadi relatif lebih murah bagi pemegang mata uang lain. Hal ini cenderung mendorong kenaikan harga minyak.
"Depresiasi kurs dolar AS juga memungkinkan harga minyak naik lebih jauh," ujar Analis Commerzbank Carsten Fristch.
"Hampir setiap kelompok komoditas (harganya) naik karena penurunan (nilai dolar AS) tambahan ini," sambungnya.
Kenaikan kembali terjadi pada harga minyak dunia pada perdagangan Kamis (25/1), waktu Amerika Serikat (AS). Kenaikan tersebut ditopang oleh pelemahan kurs dolar AS, mengetatnya pasokan global, dan terus menurunnya stok minyak mentah AS.
Dilansir dari Reuters, Jumat (26/1), harga minyak mentah berjangka acuan Brent mampu menembus level US$71,28 per barel, tertinggi sejak awal Desember 2014. Pada pukul 11:39 siang EST, harga Brent menanjak US$0,31 menjadi US$70,84 per barel.
Sementera itu, harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Maret naik US$0,44 atau 0,7 persen menjadi US$66,05. Sebelumnya, harga WTI merangkak ke level US$66,66, tertinggi sejak Desember 2014.
"Ledakan (kenaikan harga minyak) terakhir ini, disebabkan oleh perdagangan dolar AS," ujar Gene McGillian, Direktur Riset Pasar Tradition Energy.
Dolar Melemah Bikin Harga Minyak Naik | PT Rifan Financindo Berjangka
Depresiasi dolar AS juga memungkinkan harga minyak menguat. Hampir setiap komoditas didorong oleh penurunan dolar ini," kata Carsten Fritsch, Analis Commerzbank.
Dolar AS mencapai titik terendah sejak Desember 2014 melawan sekeranjang mata uang lainnya. Ini meluncur lebih jauh karena komentar Presiden Bank Sentral Eropa mendorong euro sehari setelah Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan bahwa dolar yang lebih lemah "baik untuk negaranya.
Melansir laman Reuters, Jumat (26/1/2018), harga minyak mentah Brent, patokan minyak internasional, mencapai US$ 71,28 per barel, tertinggi sejak awal Desember 2014.
Sementara minyak WTI untuk pengiriman Maret naik 44 sen menjadi US$ 66,05 per barel, atau sebesar 0,7 persen. Sebelumnya, kontrak minyak ini naik menjadi US$ 66,66, tertinggi sejak Desember 2014.
Harga minyak mentah dunia menguat, dengan minyak patokan global Brent pada satu titik mampu mencapai di atas US$ 71 per barel untuk pertama kalinya sejak 2014.
Ini dipicu pelemahan dolar, pasokan global yang lebih ketat dan rekor penurunan persediaan minyak mentah di Amerika Serikat (AS).