Penghentian layanan pemerintahan alias shutdown | PT Rifan Financindo Berjangka
"Perdagangan Indonesia ke AS berpotensi terganggu, sehingga kinerja ekspor sepanjang 2018 berpotensi menurun," ucap Bhima saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (20/1/2018).
Bhima menambahkan, dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, porsi ekspor Indonesia ke AS mencapai 11,2 persen dari total ekspor.
Pasalnya shutdown akan mempengaruhi perekonomian AS, dan berpotensi turut berdampak pada Indonesia.
Namun jika terjadi dalam waktu panjang, maka pemerintah Indonesia perlu menyiapkan antisipasi.
Amerika Serikat (AS) sejak Sabtu (20/1/2018) ini, resmi berada dalam kondisi penghentian layanan pemerintahan alias shutdown.
Bagaimana dampaknya terhadap Indonesia?
Ekonom Institute for Development Economic and Finance (Indef) Bhima Yudistira Adhinegara menilai, dampak shutdown akan kecil jika dalam waktu sebentar.
Sedangkan efek pada nilai tukar rupiah diprediksi sangat minim.
Proyeksi nilai tukar rupiah sendiri masih dalam rentang terkendali pada Rp 13.350 - Rp 13.400.
" Shutdown pernah terjadi tahun 1995-1996 dan tahun 2013. Saat itu kurs rupiah hampir tidak terpengaruh. Karena sifatnya lebih temporer atau jangka pendek," ujarnya.
Salah satunya adalah potensi naiknya yield surat utang yang mencerminkan kenaikan resiko serta keluarnya modal asing dari negara berkembang.
Nilainya sekitar 17,1 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 227,8 triliun.
"Pemerintah perlu mempersiapkan mitigasi risiko. Salah satunya dengan memperluas ekspor ke negara alternatif sehingga ketergantungan terhadap AS berkurang," sebutnya.
Selain berdampak ke ekspor Indonesia, menurut Bhima shutdown berkepanjangan juga bakal berdampak ke pasar keuangan.
Amerika Shutdown Tak Pengaruhi Bursa Saham RI | PT Rifan Financindo Berjangka
hutdown merupakan sebuah kondisi di mana sektor dalam rencana operasional pemerintah tidak dapat berjalan karena rancangan tersebut belum disetujui oleh Senat.
Terdapat 10 sektor yang terpengaruh oleh AS 'Shutdown.' Sepuluh sektor tersebut adalah Badan Perpajakan AS, layanan kesehatan, Departemen Hukum, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Badan Intelijen, Departemen Keamanan Dalam Negeri, Departemen Dalam Negeri, Departemen Perhubungan, dan Departemen Perlindungan Lingkungan.
Namun secara keseluruhan, Tito mengatakan, tidak akan berdampak signifikan pada perekonomian Indonesia.
Amerika shutdown ini terjadi akibat tidak diperolehnya kesepakatan anggaran operasional negara untuk setahun ke depan. Dilansir Reuters, Sabtu (20/1), pemerintah gagal mendapatkan 60 suara dari para senator untuk menunda penutupan layanan pemerintah hingga 16 Februari. Senator dari Partai Republik sudah mengumpulkan 51 suara, namun gagal melobi senator Partai Demokrat untuk mencapai 60 suara.
"Waktu Obama itu 14 hari (shutdown), indeks kita naik 4,7%. Jadi historically, kalau cuma 1 sampai 2 minggu saya percaya tidak ada dampaknya," ungkap Tito di Gedung iNews, Jakarta, Senin (22/1).
Meski demikian, Tito menyebutkan, hal ini sedikit banyak akan berdampak pada pergerakan rupiah terhadap dolar AS yang diprediksi menguat.
"Dampaknya di rupiah menguat. Kalau rupiah menguat, saham mahalan dikit," ungkapnya.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) resmi menerapkan 'Government Shutdown' pada Sabtu (20/1) waktu setempat, setelah Senat AS gagal mencapai kesepakatan terkait dana operasional pemerintah. Hal ini menyebabkan beberapa sektor terhenti, kecuali sektor pelayanan yang bersifat vital.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio mengatakan, Amerika Shutdown tidak akan berdampak pada pasar saham Indonesia. Menurut Tito, hal tersebut bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya pada 2013, Amerika juga mengalami fase serupa. Tito menuturkan, saat itu indeks atau bursa saham justru menguat.
“Shutdown” AS Berpotensi Mengatrol Bunga Utang RI | PT Rifan Financindo Berjangka
Kementerian Keuangan mencatat jumlah outstanding utang pemerintah hingga akhir Desember 2017 mencapai 3.938,7 triliun rupiah atau sekitar 29,2 persen terhadap PDB.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Ardianto, mengatakan andai prospek ekonomi Indonesia bagus, produktivitas meningkat maka kenaikan utang luar negeri bisa diimbangi oleh kenaikan pendapatan, sedangkan biaya utang relatif tetap.
Sebaliknya, kalau perekonomian memburuk akan menyulitkan keuangan negara yang terus tergerus untuk membayar utang.
“Jadi, kita perlu fokus meningkatkan pendapatan nasional, dengan memanfaatkan utang untuk kegiatan produktif sehingga mampu membayar kembali utang tersebut,” ujar dia.
Bhima khawatir, utang justru hanya untuk membayar kegiatan rutin, termasuk gaji pegawai. Artinya, utang yang terus bertambah ini akan membahayakan Indonesia pada tahun-tahun mendatang.
Apalagi, utang Indonesia terhadap asing sudah melebihi 40 persen. Kalau ada tekanan global, asing bisa menjual utang Indonesia sehingga akan mengganggu stabilitas keuangan dalam negeri.
Menurut dia, Indonesia semestinya belajar kepada negara-negara yang sudah pernah terjebak dalam utang, di antaranya, Argentina, Chili, dan Venezuela. Bahkan, di Sri Lanka lebih dari 90 persen APBN habis hanya untuk membayar utang, sehingga berujung pada krisis di negara tersebut.
“Jadi, kita harus belajar dan bijak. Jangan sampai utang naik hampir 30 persen dari PDB (produk domestik bruto), tetapi tidak memberikan manfaat. Sekarang ini, setiap satu penduduk Indonesia menanggung 15 juta rupiah utang negara. Sinyal-sinyal ini, pemerintah seharusnya tahu bagaimana memitigasi risikonya,” tutur Bhima.
Yang lebih miris, pertumbuhan ekonomi justru stagnan. “Pertumbuhan utang lebih dari 10 persen sementara pertumbuhan ekonomi hanya lima persen. Artinya, ada yang salah. Di mana utang ini, apakah benar-benar digunakan untuk sektor produktif,” kata Bhima.
Sebelumnya, ekonom UGM, Fahmi Radhy, mengingatkan pemerintah agar benar-benar menggunakan utang untuk kegiatan produktif, seperti mendorong pengembangan industri dan infrastruktur. Dengan begitu, utang akan menghasilkan pendapatan untuk membayar kembali pinjaman tersebut.
Apabila penarikan utang baru hanya untuk membayar utang lama atau gali lubang tutup lubang maka Indonesia akan makin sulit keluar dari jebakan utang atau debt trap. APBN akan terus tergerus membayar kewajiban utang, sehingga anggaran kesejahteraan rakyat kian sempit.
Dengan kondisi tersebut, motor pertumbuhan ekonomi yang berasal dari investasi dan ekspor bisa terpengaruh. Proyeksi pertumbuhan ekonomi 2018 berada diangka 5,1 persen (year-on-year).
Sementara itu suku bunga acuan 7 days repo rate diperkirakan akan tetap bertahan di 4,25 persen pada Februari mendatang,” jelas Bhima.
Terkait pengelolaan utang, Bhima menyarankan pemerintah sebaiknya meredam nafsu berutang agar pertumbuhan utang tidak melebihi pertumbuhan ekonomi. Sebab, hal itu akan menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas penggunaan utang.
“Setiap tahun, pemerintah harus mengeluarkan 300 triliun rupiah hanya untuk membayar bunga utang saja. Itu belum membayar utang pokoknya,” tukas dia.
Penghentian layanan pemerintah Amerika Serikat (AS) atau shutdown berpotensi menebarkan sentimen negatif di pasar keuangan.
Investor akan menilai bahwa risiko fiskal AS meningkat sehingga imbal hasil (yield) obligasi naik. Ini berpeluang memicu keluarnya modal asing dari negara berkembang, termasuk Indonesia, dan mendorong kenaikan bunga obligasi dalam negeri.
Peneliti ekonomi Indef, Bhima Yudhistira, mengatakan dampak shutdown di pasar keuangan akan berimplikasi pada naiknya yield surat utang yang mencerminkan kenaikan risiko serta keluarnya modal asing dari negara berkembang.
“Perlu dicatat sepanjang 2017, berdasarkan laporan Bloomberg, dana asing yang keluar dari bursa saham Indonesia mencapai 2,96 miliar dollar AS atau hampir 40 triliun rupiah,” papar dia, di Jakarta, Minggu (21/1).
Dalam jangka menengah, lanjut Bhima, menguatnya tekanan keluarnya dana asing dipengaruhi oleh ancaman kenaikan suku bunga The Fed sebanyak tiga kali hingga akhir tahun, instabilitas geopolitik, proteksionisme perdagangan AS, dan kenaikan harga minyak hingga 80 dollar AS per barel.